Padahal, rencana penyederhanaan struktur tarif CHT telah diatur melalui Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 77/PMK.01/2020 tentang Rencana Strategis Kementerian Keuangan Tahun 2020-2024.
Analisis Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Sarno mengatakan, penyederhanaan struktur tarif cukai hasil tembakau terkait dengan tujuh agenda pembangunan yaitu agenda memperkuat ketahanan ekonomi untuk pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dan agenda meningkatkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas dan berdaya saing.
"Pemerintah berniat menurunkan angka prevelansi merokok dengan kebijakan fiskal dan nonfiskal. Kebijakan fiskal dilakukan dengan penyederhanaan tarif struktur cukai hasil tembakau dan peningkatan tarif cukai hasil tembakau," kata dia dalam webinar, Selasa, 2 November 2021.
Saat ini, ia menambahkan, pemerintah masih menggodok kebijakan cukai hasil tembakau untuk tahun depan. Dengan kenaikan target penerimaan cukai tembakau sebesar Rp20 triliun untuk tahun depan, dapat dipastikan tarif cukai tembakau juga akan mengalami kenaikan namun dengan mempertimbangkan beberapa hal.
"Kenaikan cukai ini akan dilakukan dengan mempertimbangkan empat pilar kebijakan cukai hasil tembakau untuk peningkatan kualitas SDM yaitu melalui pengendalian konsumsi tembakau, keberlangsungan tenaga kerja, penerimaan negara, dan pengawasan rokok ilegal," ungkapnya.
Penyederhanaan tarif cukai kendalikan konsumsi tembakau
Direktur SDM UI & Peneliti Senior PEBS FEB UI Abdillah Ahsan menjelaskan, jika pertumbuhan ekonomi yang berkualitas, berkelanjutan, dan menyehatkan harus ditopang oleh masyarakat yang sehat dan menghasilkan SDM yang sehat. Mengutip data BPJS Kesehatan pada 2019, terdapat 17,5 juta kasus penyakit terkait rokok dan tembakau seperti jantung, kanker, stroke dengan biaya lebih dari Rp16,3 triliun."Diperlukan kenaikan tarif cukai tembakau dan penyederhanaan struktur cukai dalam rangka pengendalian konsumsi tembakau. Saat ini, akibat struktur cukainya yang kompleks, harga rokok di Indonesia menjadi sangat bervariasi. Jarak harga rokok mahal dan rokok murah sangat jauh, sehingga masyarakat utamanya anak-anak masih dapat menjangkau rokok dengan harga murah," ujar dia.
Sementara itu, Project Officer for Tobacco Control-CISDI Lara Rizka mengungkapkan, berbagai hasil studi yang dilakukan terkait rokok dan konsumsinya di Indonesia. Dalam riset yang dilakukan oleh University of Illinois Chicago pada 2020 tentang cigarette tax scorecard, Indonesia mendapatkan penilaian rendah di Asia Tenggara, hanya 1,63 dari 5, di bawah Filipina 3,75, Singapura 3,25, dan Malaysia 2,75.
Ia menjelaskan, salah satu alasannya adalah karena struktur cukai di Indonesia yang masih sangat rumit dan menyebabkan kenaikan cukai menjadi tidak efektif. Menurutnya, kenaikan cukai tidak membuat orang berhenti merokok melainkan beralih pada jenis rokok yang lebih murah, yang dimungkinkan karena variasi harga rokok akibat struktur cukai yang rumit.
Dari riset CISDI tentang status dan perilaku merokok setelah 10 bulan pandemi covid-19 di Indonesia, menemukan bahwa meskipun sebagian besar perokok tidak mengubah konsumsinya, sekitar seperempat dari perokok melakukan perubahan perilaku merokok dengan beralih ke rokok yang lebih murah selama masa pandemi.
Oleh karena itu, menurut Lara, kebijakan dan mekanisme cukai tembakau yang berlaku di Indonesia saat ini masih belum efektif untuk memenuhi perannya dalam mengendalikan konsumsi tembakau. Ia menegaskan, pentingnya pengendalian tembakau di Indonesia sehingga penyederhanaan struktur cukai menjadi sebuah agenda kebijakan yang urgensinya tinggi.
"Diperlukan komunikasi yang baik antar kementerian agar dapat merumuskan kebijakan cukai tembakau yang menyeimbangkan prioritas melindungi masyarakat dan memenuhi pemasukan negara," tutup Lara.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id