Jakarta: Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Arsjad Rasjid mengutarakan harapannya agar pemerintah menyiapkan strategi yang tepat dalam rangka mengendalikan inflasi usai harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dinaikkan. Hal itu penting agar keputusan itu tidak memberikan tekanan terhadap perekonomian.
Arsjad mengemukakan kondisi perekonomian global, termasuk Indonesia sedang dalam masa pemulihan dan trennya terus membaik serta mengarah pada pertumbuhan. Namun, masih banyak tantangan yang harus dihadapi, seperti risiko resesi global, inflasi energi, dan pangan, dikarenakan perang Rusia dan Ukraina.
"Kondisi ini yang membuat kita juga harus memiliki strategi, termasuk dalam persoalan fiskal. Dalam kondisi pemulihan dan ancaman resesi global, ruang fiskal kita membutuhkan keleluasaan untuk bergerak lincah menjaga keseimbangan keuangan negara dan dorongan agar ekonomi tetap tumbuh," ujar Arsjad, dilansir dari Antara, Senin, 12 September 2022.
Saat ini, ia mengingatkan, subsidi menghabiskan sekitar 25 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) di 2022, yang merupakan angka yang sangat besar. Tetapi persoalannya, sekitar 70 persen subsidi BBM dinikmati oleh kelompok yang mampu.
Kondisi tersebut dinilai memperlihatkan subsidi BBM tidak tepat sasaran, padahal tujuan utama dari alokasi subsidi adalah untuk menjaga stabilitas harga dan daya beli masyarakat pada golongan pra-sejahtera.
Dengan demikian, Arsjad menilai, masyarakat miskin dan rentan memerlukan bantuan yang lebih tepat, sehingga langkah pemerintah mengalokasikan 25 persen dana APBN dengan bantuan sosial (bansos) atau Bantuan Langsung Tunai (BLT) sudah tepat agar Indonesia bisa keluar dari jeratan subsidi BBM yang buruk untuk lingkungan.
Dari sudut dunia usaha, dirinya mengaku, kenaikan BBM akan menimbulkan kenaikan harga di beberapa sektor, terutama transportasi dan logistik. Akibat biaya logistik yang naik, barang dan jasa juga akan terkerek naik terutama di UMKM yang memiliki ketergantungan tinggi akan BBM.
"Namun tidak ada cara lain untuk menanggung konsekuensi ini bersama. Kadin menghitung industri berskala besar dan sedang tidak akan terlalu terdampak karena menggunakan BBM nonsubsidi, tetapi untuk skala UMKM tentu akan langsung menyesuaikan sehingga perlu insentif seperti subsidi bunga KUR, insentif pajak hingga permodalan,” pungkasnya.
Arsjad mengemukakan kondisi perekonomian global, termasuk Indonesia sedang dalam masa pemulihan dan trennya terus membaik serta mengarah pada pertumbuhan. Namun, masih banyak tantangan yang harus dihadapi, seperti risiko resesi global, inflasi energi, dan pangan, dikarenakan perang Rusia dan Ukraina.
"Kondisi ini yang membuat kita juga harus memiliki strategi, termasuk dalam persoalan fiskal. Dalam kondisi pemulihan dan ancaman resesi global, ruang fiskal kita membutuhkan keleluasaan untuk bergerak lincah menjaga keseimbangan keuangan negara dan dorongan agar ekonomi tetap tumbuh," ujar Arsjad, dilansir dari Antara, Senin, 12 September 2022.
Saat ini, ia mengingatkan, subsidi menghabiskan sekitar 25 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) di 2022, yang merupakan angka yang sangat besar. Tetapi persoalannya, sekitar 70 persen subsidi BBM dinikmati oleh kelompok yang mampu.
Baca: Insentif Kendaraan Listrik hingga Harga CPO Turun Jadi Berita Terpopuler Ekonomi |
Kondisi tersebut dinilai memperlihatkan subsidi BBM tidak tepat sasaran, padahal tujuan utama dari alokasi subsidi adalah untuk menjaga stabilitas harga dan daya beli masyarakat pada golongan pra-sejahtera.
Dengan demikian, Arsjad menilai, masyarakat miskin dan rentan memerlukan bantuan yang lebih tepat, sehingga langkah pemerintah mengalokasikan 25 persen dana APBN dengan bantuan sosial (bansos) atau Bantuan Langsung Tunai (BLT) sudah tepat agar Indonesia bisa keluar dari jeratan subsidi BBM yang buruk untuk lingkungan.
Dari sudut dunia usaha, dirinya mengaku, kenaikan BBM akan menimbulkan kenaikan harga di beberapa sektor, terutama transportasi dan logistik. Akibat biaya logistik yang naik, barang dan jasa juga akan terkerek naik terutama di UMKM yang memiliki ketergantungan tinggi akan BBM.
"Namun tidak ada cara lain untuk menanggung konsekuensi ini bersama. Kadin menghitung industri berskala besar dan sedang tidak akan terlalu terdampak karena menggunakan BBM nonsubsidi, tetapi untuk skala UMKM tentu akan langsung menyesuaikan sehingga perlu insentif seperti subsidi bunga KUR, insentif pajak hingga permodalan,” pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News