Peraturan tersebut merupakan tindak lanjut dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2017 tentang perubahan keempat atas PP Nomor 23 Tahun 2010 tentang pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batu bara.
Serta menindaklanjuti Peraturan Menteri ESDM Nomor 6 Tahun 2017 tentang tata cara dan persyaratan pemberian rekomendasi pelaksanaan penjualan mineral ke luar negeri (ekspor) hasil pengolahan dan pemurnian (smelter) yang salah satunya mengusulkan persyaratan tarif bea keluar maksimal 10 persen untuk ekspor konsentrat tambang.
"Latar belakang terbitnya PMK tersebut untuk mendorong percepatan pelaksanaan peningkatan nilai tambah mineral di dalam negeri melalui kegiatan pengolahan dan pemurnian di mana pengolahan mineral harus memberikan nilai tambah yang signifikan untuk selanjutnya dipergunakan bagi kesejahteraan masyarakat," kata Ani dalam keterangan tertulisnya, Senin 13 Februari 2017.
Dengan ditekennya PMK yang baru, pengenaan tarif bea keluar ekspor produk hasil pengolahan mineral logam sebesar nol persen sampai dengan 7,5 persen berdasarkan kemajuan fisik pembangunan fasilitas pemurnian, di mana semakin tinggi tingkay kemajuan fisik pembangunan maka akan dikenakan bea keluar semakin rendah dan sebaliknya.
Sementara itu, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, Suahasil Nazara mengatakan pengenaan tarif bea keluar dibagi dalam empat layer. Layer pertama yakni jika kemajuan fisik pembangunan smelter 0-30 persen, tarif bea keluar yang dikenakan adalah 7,5 persen.
Kedua, jika progres pembangunan smelter 30-50 persen, maka tarif bea keluarnya lima persen. Ketiga, jika progres pembangunan smelterl 50-75 persen maka bea keluarnya 2,5 persen. Dan terakhir jika progres pembangunan smelter lebih dari 75 persen, maka dibebaskan bea keluar atau tarifnya nol persen.
"Dengan sistem yang seperti itu memang kita inginkan smelter itu segera di bangun supaya dia bisa mendapatkan tarif bea keluar yang lebih rendah," jelas Suahasil.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News