Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo. FOTO: Bank Indonesia
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo. FOTO: Bank Indonesia

BI Sebut Inflasi Minyak Goreng karena Gangguan Suplai Jangka Pendek, Bukan Fundamental!

Husen Miftahudin • 28 Januari 2022 07:54
Jakarta: Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengatakan kenaikan harga minyak goreng yang menjadi salah satu penyumbang utama pada kenaikan inflasi di Desember 2021 terjadi karena adanya gangguan suplai jangka pendek. Kenaikan harga minyak goreng tersebut bukan pengaruh dari faktor yang bersifat fundamental.
 
"Kalau ini (kenaikan harga minyak goreng) adalah suplai jangka pendek. Tentu saja obatnya mengatasi suplai jangka pendek, koordinasi dengan pemerintah pusat dan daerah bagaimana ini kenaikan harga jangka pendek bisa diatasi," ujar Perry dalam acara Media Group Network (MGN) Summit 2022 yang digelar secara hybrid, dikutip Jumat, 28 Januari 2022.
 
Perry menjelaskan, sumber inflasi ada dua, yakni inti dan non-inti. Inflasi inti merupakan komponen inflasi yang cenderung tetap dan biasanya menggambarkan faktor fundamental yang mempengaruhi harga seperti pergerakan harga komoditas, dinamika permintaan dan penawaran, nilai tukar, dan sebagainya.

Sementara inflasi non-inti merupakan komponen inflasi yang cenderung tinggi volatilitasnya dan biasanya menggambarkan faktor non-fundamental yang mempengaruhi harga. Inflasi non-inti terdiri dari dua jenis, yaitu inflasi komponen bergejolak dan komponen harga yang diatur pemerintah.
 
"Kalau itu kenaikannya adalah fundamental, ya itu kenaikan permintaan yang melebihi pasokan secara nasional, dan Indonesia belum (terjadi kenaikan inflasi akibat faktor fundamental)," tuturnya.
 
Karena kenaikan harga minyak goreng belum berasal dari faktor fundamental, maka Bank Indonesia belum perlu meresponsnya. "Kenaikan harganya (minyak goreng) itu belum fundamentalnya, sehingga belum perlu direspons dari sisi moneter," tegas Perry.
 
Meskipun demikian, ia mengakui bahwa tekanan inflasi secara fundamental akan terjadi pada 2023. Hal ini seiring dengan kebijakan moneter yang ekspansif dari Bank Indonesia di tengah pandemi covid-19.
 
Tekanan inflasi secara fundamental terjadi karena Bank Indonesia menerapkan kebijakan moneter yang longgar sejak adanya pandemi covid-19 di awal 2020 lalu. Bank sentral aktif memberikan stimulus moneternya, mulai dari pemangkasan suku bunga acuan hingga menggelontorkan likuiditas di pasar atau quantitative easing.
 
"Kenaikan (inflasi) fundamental baru akan terjadi 2023 yang kita sebut kesenjangan output. Output gap Indonesia itu masih negatif, baru 2023 akan positif," pungkas Perry.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(ABD)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan