Wakil Ketua KEIN Arif Budimanta mengatakan pemberlakuan disinsentif terhadap pembayaran dividen yang dibawa ke luar negeri juga perlu dilakukan. Menurutnya, catatan Bank Indonesia (BI) terkait tekanan terhadap neraca pembayaran adalah akibat defisit transaksi berjalan yang mencapai USD8,4 miliar atau 3,0 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), meningkat dibandingkan kuartal sebelumnya yang 2,6 persen perlu dicermati.
BI juga merilis kondisi tersebut lantaran adanya pengaruh musiman repatriasi dividen, pembayaran bunga utang luar negeri, serta akibat pertumbuhan ekonomi dunia yang melambat serta harga komoditas yang melemah.
"Tapi kita tetap harus cari cara, misalnya agar dividen perusahaan penanaman modal asing yang biasanya dibawa ke luar, dapat ditanamkan kembali di Indonesia," ujar Arif melalui keterangan tertulis di Jakarta, Jumat, 9 Agustus 2019.
Insentif dimaksud, misalnya terkait dengan kebijakan fiskal, yaitu semacam keringanan pajak. Sebaliknya, modal yang dibawa ke luar dari Indonesia diberikan disinsentif fiskal.
Terkait dengan neraca perdagangan yang masih defisit sehingga ikut menekan transaksi berjalan dan neraca pembayaran, Arif juga menyarankan perlunya diberikan kemudahan dan fasilitas yang baik agar orientasi ekspor meningkat. Sedangkan untuk impor, terutama untuk komoditas yang tidak utama apalagi ada substitusinya di Indonesia, berikan disinsentif fiskal seperti kenaikan pajak.
Arif mengungkapkan, kebijakan untuk menjaga stabilitasi transaksi berjalan ini penting, karena dampak ikutannya bisa sangat besar. Dalam jangka pendek, tekanan terhadap transaksi berjalan akan mempengaruhi nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, terutama dolar.
Dalam kondisi seperti itu, dia melanjutkan, operasi moneter yang biasanya diambil kan kenaikan suku bunga untuk menahan arus modal keluar (capital outflow). "Kalau itu terjadi, biaya dana menjadi mahal karena suku bunga kredit naik, sehingga ekonomi sulit bergerak," katanya.
Dalam jangka panjang, neraca transaksi berjalan yang terus defisit berpotensi menurunkan kemampuan negara dalam membayar kewajiban-kewajiban luar negeri. Karenanya pencegahan dini menjadi kunci penting.
Bersamaan dengan kebijakan jangka pendek yang diambil, Arif mengingatkan agar pemerintah juga melakukan pembenahan terhadap struktur industri terutama yang berbasis komoditas. Selama ini, kebanyakan produk perkebunan dan pertambangan misalnya, diekspor dalam bentuk mentah. Akibatnya, ketika harga di pasar internasional melemah, perekonomian Indonesia ikut terganggu.
"Perubahan struktur dengan memprioritaskan pengolahan di dalam negeri perlu dilakukan. Kita harus banyak produksi turunannya atau sektor hilir melalui pengolahan di dalam negeri, sehingga daya tahannya lebih kuat," papar Arif.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News