Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Mirza Adityaswara. (medcom Eko Nordiansyah).
Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Mirza Adityaswara. (medcom Eko Nordiansyah).

Resesi AS Memperkecil Defisit Transaksi Berjalan RI

Husen Miftahudin • 27 Maret 2019 20:20
Jakarta: Bank Indonesia (BI) memandang perlambatan ekonomi Amerika Serikat (AS) mampu mengendalikan pelebaran defisit transaksi berjalan atau current account deficit (CAD). Perlambatan ekonomi yang berpotensi terjadinya resesi di AS itu mendorong aliran modal asing masuk ke Indonesia akibat melunaknya (dovish) kebijakan suku bunga The Federal Reserve.
 
"Perlambatan ekonomi AS itu membuat suku bunga AS tidak naik lagi. Itu justru membantu Indonesia untuk membiayai defisit (CAD)," kata Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara di kompleks perkantoran BI, Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, Rabu, 27 Maret 2019.
 
Melunaknya kebijakan suku bunga The Fed, jelas Mirza, memicu penyempitan selisih imbal hasil obligasi pemerintah AS dan imbal hasil instrumen keuangan di negara berkembang. Kondisi tersebut diyakini akan mendorong masuknya modal asing ke negara berkembang, termasuk Indonesia.

Bank sentral lebih melihat ancaman efek rambatan negatif ekonomi global yang berasal dari moderasi ekonomi Tiongkok. Sebab ekspor Indonesia banyak berorientasi ke pasar Negeri Tirai Bambu tersebut. Jika permintaan dari Tiongkok melambat, kinerja ekspor dan konsumsi swasta Indonesia yang akhirnya akan menekan pertumbuhan ekonomi akan melambat. 
 
"Ekspor Indonesia lebih dari 25 persen komoditas pertambangan dan perkebunan ke Tiongkok. Harganya bisa menurun," ungkap dia.
 
Sejauh ini perlambatan pertumbuhan ekonomi Tiongkok dirasa belum berdampak signifikan terhadap perekonomian Indonesia. BI memproyeksikan ekonomi Tiongkok tahun ini akan tumbuh 6,3 persen, melemah bila dibandingkan tahun lalu yang tumbuh 6,4 persen.
 
"Kalau ekonomi Tiongkok tumbuh di bawah enam persen, akan ada skenario yang baru," ujar dia.
 
Sementara itu, kekhawatiran resesi ekonomi negeri Paman Sam terjadi setelah munculnya fenomena kurva 'yield' obligasi AS yang terbalik (inverted curve). Hal itu menjadi indikator penanda terhadap munculnya krisis. 
 
"Pada 2017-2018, ekonomi AS itu tumbuhnya 2,9 persen yang membuat AS harus melakukan adjustment supaya tidak terjadi bubble ekonomi, tidak terjadi inflasi yang naik terlalu tinggi, sehingga The Fed melakukan adjustment kenaikan suku bunga 0,25 persen menjadi 2,5 persen. Itu yang kemudian membuat terjadinya volatility di negara-negara emerging market," pungkas Mirza.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(SAW)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan