"Ini tentunya untuk penerimaan negara cukup lumayan meskipun belum bisa menggantikan rokok konvensional. Akan tetapi, kami melihat ini perkembangannya juga sudah cukup bagus dari sisi usaha," ucap Mogadishu dalam webinar Bedah Riset Pusat Studi Konstitusi Universitas Trisakti terkait Persepsi Konsumen di Indonesia terhadap Penggunaan Rokok Elektrik, Kamis, 21 Januari 2021.
HPTL merupakan hasil tembakau yang dibuat dari daun tembakau selain yang disebut sigaret, cerutu, rokok daun, dan tembakau iris yang dibuat secara lain sesuai dengan perkembangan teknologi dan selera konsumen. HTPL meliputi rokok elektrik (vape), produk tembakau yang dipanaskan (heated tobacco product), tembakau molasses, tembakau hirup (snuff tobacco), tembakau kunyah (chewing tobacco), dan lain sebagainya.
Adapun pengenaan cukai HPTL sebesar 57 persen sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 146/PMK.010/2017 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau. Angka 57 persen tersebut merupakan tarif maksimal pengenaan cukai yang diatur dalam UU Cukai, dan mulai diberlakukan pada 1 Juni 2018.
Mogadishu mengungkapkan kenaikan penerimaan cukai HPTL sepanjang tahun 2020 membuktikan bahwa kinerja industri tersebut mengalami pertumbuhan pesat di tengah meluasnya dampak pandemi covid-19. Meskipun ia masih belum bisa menyebut angka pasti kinerja industri HPTL ini.
"Kami belum cek hasil produksinya dan belum mendapatkan datanya. Akan tetapi dari sisi penerimaan cukai naik mestinya jumlah produksinya juga ikut naik. Artinya, kinerja industri ini juga naik di masa pandemi," jelasnya.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan (Kemenkeu), penerimaan cukai HPTL pada 2019 disumbang oleh 238 pabrik yang memesan pita cukai. Mogadishu menyebutkan, sebagian besar pabrik tersebut merupakan Industri Kecil Menengah (IKM) yang sifatnya peracik.
Pabrik HPTL ini berada di hampir seluruh wilayah Indonesia dengan tingkat mayoritas persebaran berada di wilayah Jawa Barat (Jabar). Hal ini berbeda dibandingkan tingkat persebaran produsen rokok konvensional yang mayoritas berada di wilayah Jawa Tengah (Jateng) dan Jawa Timur (Jatim).
"Kalo dibandingkan dengan rokok konvensional itu sebarannya ada di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Kalau yang produk ini, terutama yang elektrik, itu sebarannya banyak di Jawa Barat. Sebenarnya secara merata hampir ada di seluruh Indonesia, cuma sebagian besar dari 238 pabrik itu jumlah terbesar ada di Jawa Barat," paparnya.
Mogadishu bilang, kinerja industri HPTL sudah cukup berkembang dengan baik di Indonesia. Hal ini terlihat dari kinerja industri HPTL pada 2019 di mana total produksi iqos (alat heated tobacco yang menggunakan batang tembakau asli) sebanyak 1,74 juta pak atau setara dengan 34,7 juta batang.
Sementara itu, jumlah produksi e-liquid (cairan rokok elektrik) sebanyak 15 juta botol atau setara 722,6 ribu liter. Sedangkan jumlah produksi molasses (hasil tembakau yang berasal dari pengolahan daun tembakau) sebanyak 2,2 juta pak atau setara 220,4 ton.
"Pak untuk snus seperti chewing tembakau itu sudah 98,9 ribu pak atau 9,9 ton. Kemudian untuk pods itu sudah lebih dari 1,6 juta pods atau sekitar 721 ribu pak. Ini kalau dibandingkan dengan rokok konvensional masih sangat kecil tapi sudah cukup berkembang," pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News