Gedung Bank Indonesia. FOTO: MI/SUSANTO
Gedung Bank Indonesia. FOTO: MI/SUSANTO

Draf Revisi UU BI Dinilai Belum Menjawab Tantangan Ekonomi

Angga Bratadharma • 08 September 2020 08:01
Jakarta: Badan Anggaran (Banggar) Dewan Perwakilan Rakyat menegaskan secara umum konstruksi draf revisi UU BI yang muncul ke publik masih dangkal. Hal itu lantaran belum menjawab tantangan ekonomi, terutama sektor keuangan nasional di masa yang akan datang.
 
Adapun Badan Legislasi (Baleg) DPR tengah mengebut proses revisi UU No 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (BI). Namun, Ketua Banggar DPR MH Said Abdullah menegaskan draf revisi UU BI yang muncul ke publik belum menjawab tantangan ekonomi sehingga sangat wajar jika revisi UU BI ini direspon negatif dari para pelaku pasar.
 
"Bila kita cermati masalah kita memang ada di sektor fiskal, rasio pajak stagnan malah turun, kita mengalami deindustrialisasi, defisit perdagangan, membesarnya impor, terutama pangan dan energi, serta tingginya angka Incremental Capital Output Ratio (ICOR) bila dibandingkan dengan negara tetangga," tutur Said, dalam keterangan tertulisnya, Selasa, 8 September 2020.

Hal ini, lanjutnya, yang justru memberikan tekanan pada sektor moneter. Said menilai momentum revisi UU BI ini tidak pas. Pasalnya, kondisi ekonomi nasional terancam resesi. Bahkan resesi ini diperkirakan terus berjalan bila melihat pertumbuhan covid-19 yang masih tinggi hingga positive rate menyentuh 18 persen per 1 September 2020.
 
"Karena itu, saya berharap seluruh sumber daya kita dikerahkan untuk memulihkan ekonomi nasional yang bakal mengalami resesi," tegasnya.
 
Dirinya menilai beberapa pasal pengaturan di draf revisi UU BI ini malah berpotensi menimbulkan masalah-masalah baru. Misalnya tentang keberadaan Dewan Moneter.   Padahal UU No 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK), Indonesia telah memiliki Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK).  
 
Bahkan komposisi KSSK ini telah merepresentasikan kelembagaan sebagaimana yang dimaksud oleh Dewan Moneter. Dalam hal ini, menteri keuangan adalah Koordinator KSSK. "Jangkauan kewenangan KSSK malah tidak saja sektor moneter, tapi keseluruhan sektor keuangan yang berpotensi menimbulkan krisis sistem keuangan," terangnya.  
 
Demikian juga dengan draf pengembalian kewenangan pengawasan bank dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) ke Bank Indonesia (BI).   Pengaturan ini, tegas Said, bakal membatalkan sebagian besar isi Undang Undang No 21 tahun 2011 tentang OJK.  
 
"Pertanyaan mendasarnya, apakah beberapa kasus kelemahan pengawasan di OJK serta merta dijawab dengan pengalihan pengawasan bank ke BI? Saya melihat bukan ini pokok masalahnya," urainya.
 
Lebih lanjut, Said mengatakan, keterlibatan BI dalam pembiayaan yang dibutuhkan oleh pemerintah harus dimasukan dalam draf revisi UU BI pada perubahan ayat 1 sampai 3 pasal 56. Karena itu, revisi UU BI ini harus memuat praktik skema burden sharing yang telah dilaksanakan oleh BI dan pemerintah.
 
"Saya kira, poin ini sangat penting untuk ditambahkan dalam revisi UU BI," tegasnya.
 
Ia juga mendukung pasal 58A yang merupakan pasal tambahan yang dituangkan dalam Undang Undang 3 tahun 2004 tentang Perubahan UU No 23 tahun 1999 menambahkan Badan Supervisi BI (BSBI).  
 
"Saya lebih sepakat menguatkan kewenangan BSBI bukan sekadar alat bantu DPR. Penguatan kewenangan BSBI ini diperlukan selayaknya lembaga pengawas lembaga tinggi negara lainnya. Kita perlu mencontoh kewenangan Dewan Pengawas KPK," ujarnya.  
 
Said berharap agar revisi UU BI ini memikirkan agar BI berperan bisa lebih dalam pada sektor riil, khususnya UMKM. Sebab UMKM ini adalah wajah dari ekonomi nasional.   Bahkan kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) lebih dari 60 persen.  
 
"Terlalu besar kalau hanya semata di urus oleh pemerintah melalui sisi fiskal," jelasnya.  
 
Said menambahkan kebutuhan hukum terkait sektor keuangan ini adalah peran proaktif dan antisipatif dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), khususnya peran early intervention, termasuk dengan penempatan dana. Sebab bila mengacu pada UU No 4 tahun 2004 tentang LPS lebih banyak sebagai pemadam kebakaran dari bank gagal.  
 
"Mengingat banyaknya kebutuhan perubahan beberapa undang undang ini, maka pola yang pas adalah Presiden Joko Widodo menerbitkan Perppu menyangkut revisi ketiga undang undang tersebut. Dengan begitu prosesnya lebih cepat dan segera bisa menjadi kebutuhan hukum untuk mengantisipasi berbagai kejadian kedepan," pungkasnya.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(ABD)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan