Ekonom Senior Indef Aviliani mengatakan pencabutan status negara berkembang akan berdampak negatif bagi Indonesia. Untuk itu, pemerintah mesti menolak keputusan United State Trade Representative (USTR) sebagaimana yang dilakukan oleh Tiongkok.
"Pemerintah jangan bangga dulu, karena berdasarkan indikator kita tidak bisa masuk ke sana. Kita harus ikuti Tiongkok yang menolak," kata dia dalam diskusi di ITS Tower, Jakarta Selatan, Kamis, 27 Februari 2020.
Dia menambahkan salah satu indikator penilaian AS adalah lndonesia dianggap sudah memiliki share ekspor lebih dari 0,5 persen di dunia serta keanggotaannya di G20. Hal ini dibenarkan bahwa share ekspor Indonesia pada 2018 mencapai 0,9 persen terhadap total ekspor dunia.
"Namun ini tidak cukup untuk menjadikan Indonesia dinilai sebagai negara maju karena tidak didukung oleh indikator lain seperti GNI per capita serta indikator kesejahteraan lainnya," jelas dia.
Meski share ekspor lndonesia mencapai 0,9 persen dari ekspor dunia, namun peringkat ekspor Indonesia pada 2018 melorot ke posisi 29 dunia di bawah Vietnam, Thailand, Malaysia. Lebih dari itu, lndonesia merupakan anggota negara G20 yang ekspornya paling kecil bersama Turki.
"Peranan ekspor bagi lndonesia juga tidak signifikan bagi pertumbuhan ekonomi. Peranan ekspor terhadap PDB Indonesia baru mencapai kisaran 20 hingga 25 persen terhadap PDB. Berbeda dengan Vietnam yang peranan ekspornya mencapai 105 persen terhadap PDB," pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News