Ilustrasi. Foto: Medcom.id
Ilustrasi. Foto: Medcom.id

Pemerintah Dinilai Gagal Terapkan Kebijakan Harga Rokok 85% dari Harga Banderol

Eko Nordiansyah • 29 April 2021 19:39
Jakarta: Kebijakan harga jual eceran rokok (HJE) dinilai tidak sesuai dengan harga transaksi pasar (HTP) di lapangan. Dampak tidak sinkronnya regulasi pemerintah terkait harga rokok ini dinilai melemahkan upaya pemerintah untuk menurunkan prevalensi perokok sesuai target RPJMN 2020-2024.  
 
Kepala Pusat Studi Peneliti di Center Of Human And Economic Development (CHED) Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan Jakarta Roosita Meilani Dewi mengatakan, saat ini terjadi krisis konsumsi tembakau di Indonesia, serta adanya benturan regulasi mengenai kebijakan harga rokok di pasar.
 
"Pertama, PMK setiap tahun selalu diterbitkan, yang dengan jelas di pasal 15 diatur bagaimana harga transaksi pasar rokok tidak boleh di bawah 85 persen. Namun kita lihat di regulasi Dirjen Bea Cukai 37/2017 ternyata mengizinkan pabrikan mematok di bawah 85 persen asalkan tidak lebih dari 50 persen kantor wilayah bea cukai," ujar Roosita, Kamis, 29 April 2021.

Menurutnya hal ini menimbulkan kerugian vertikal di pemerintah dan horizontal di masyarakat. Ia menegaskan, tidak ada naskah akademik mengenai ketentuan kelonggaran area pengawasan Bea Cukai sehingga diperlukan evaluasi agar kebijakan ini tidak bertabrakan dengan tujuan RPJMN.
 
Peneliti CHED ITB Ahmad Dahlan Adi Musharianto mengungkapkan, pihaknya menemukan fakta terjadinya praktik penjualan rokok di bawah 85 persen dari pita cukai. Padahal ia menyebut, ketentuan PMK yang membatasi penjualan HTP pada 85 persen sudah tepat untuk mengendalikan konsumsi tembakau.
 
"Temuan kami di lapangan menunjukkan HTP yang terjadi sekitar 70,66 persen atau di bawah aturan 85 persen. HJE misalnya 20 ribu kemudian didiskon lagi. Ini buang-buang kebijakan. Kenapa tidak langsung 85 persen saja di PMK-nya? Ini pengawasan kita sebagai masyarakat tapi perlu penindakan dari pemerintah untuk yang melanggar," ungkapnya.
 
Adi berharap pemerintah sebaiknya membuat peta jalan (roadmap) mengenai HTP pada 2022-2024. Dalam roadmap ini ia menyarankan agar terdapat pengawasan dan tindak tegas untuk perusahaan yang melanggar dan pelaksanaan penetapan tarif cukai sesuai aturan.
 
Sementara itu, Manajer Riset Fiskal DDTC Denny Vissaro menjelaskan, dampak ketidaksesuaian dari regulasi HJE dan HTP adalah semakin lemahnya kontrol prevalensi perokok. Hal ini menunjukkan bahwa harga merupakan salah satu faktor penentu pengendalian konsumsi tembakau.
 
"Dalam konteks penetapan HTP 85 persen yang mana masih bisa dikompromikan dan lebih diperparah sepanjang tidak melebihi lokasi survei. Kenapa bisa ada ini? Kalau dari rasionalisasi bisnis pasti perusahaan mencari cara dalam menekan harga. Perusahaan rokok pasti mengincar konsumen, dan di sisi lain ada juga yang ingin menghindari cukai," ujarnya.
 
Ia mengatakan faktor kompromi seperti mengontrol 40 lokasi survei seharusnya dieliminasi. Persoalan ini sudah menjadi sorotan dari berbagai pihak dalam rangka menyukseskan pengendalian konsumsi tembakau di Indonesia. Terlebih kebijakan cukai dan kebijakan hasil tembakau merupakan salah satu kunci menurunkan prevalensi perokok.  
 
Peneliti The Prakarsa Herni Ramdlaningrum sebelumnya menyampaikan bahwa kebijakan yang ada saat ini perlu diimbangi langkah lainnya agar tidak menjadi satu-satunya alat untuk menekan konsumsi rokok. Bahkan menurut dia, pemerintah perlu menerapkan sanksi dalam penegakan kebijakan ini.
 
"Perlu ada strategi lain yang lebih lengkap, seperti pengawasan terhadap produsen rokok besar, perizinan, distribusi atau penjualan, serta sanksi perlu menjadi kerangka hukum yang turut diadopsi," pungkas dia.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(DEV)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan