Direktur Teknis dan Fasilitas Cukai DJBC Nirwala Dwi Heryanto mengatakan salah satu yang dipikirkan oleh pemerintah adalah pengendalian konsumsi rokok. Pasalnya kebijakan cukai rokok menjadi salah satu upaya untuk mencapai tujuan tersebut.
"Apalagi RPJMN sudah ditetapkan bahwa saat ini terutama prevalensi perokok anak 10-18 tahun mencapai 9,1 persen, artinya dari 100 anak-anak itu sembilan orang sudah merokok. Makanya di RPJMN jelas, di 2024 ditargetkan dari 9,1 persen turun jadi 8,7 persen," kata dia dalam webinar di Jakarta, Rabu, 23 Desember 2020.
Pilar kedua, adalah optimalisasi penerimaan negara. Ia menjelaskan, dari tahun ke tahun target untuk penerimaan cukai rokok selalu mengalami kenaikan. Untuk itu, kenaikan CHT diperlukan dalam upaya mencapai target penerimaan negara.
Ketiga, lanjut dia, pilar tenaga kerja juga menjadi pertimbangan pemerintah dalam menaikan cukai rokok. Menurut dia, masalah tenaga kerja ini berkaitan dengan kelangsungan industri, sehingga pekerjanya dari hulu ke hilir tetap harus diperhatikan.
"Pekerja yang terlibat langsung di industri tembakau kurang lebih 160 ribu orang dan tenaga kerja yang terlibat sektor pemasaran jadi tidak kurang dari enam sampai tujuh juta orang terlibat dalam industri CHT," jelas dia.
Keempat, masalah yang tidak dilupakan juga terkait peredaran rokok ilegal. Apalagi setiap terjadi kenaikan cukai rokok, maka akan terjadi kenaikan peredaran rokok ilegal yang tentunya harus bisa diatasi oleh pemerintah dalam hal ini DJBC.
"Jadi empat hal ini yang harus dipikirkan sama-sama, harus diramu, tidak hanya memikirkan pengendalian konsumsi, penerimaan negara, keberlangsungan tenaga kerja, dan peredaran rokok ilegal," ungkapnya.
"Begitu kita bicara opsi satu, memprioritaskan pengendalian, otomatis pilar-pilar lainnya akan kurang mendapatkan perhatian. Idealnya di opsi empat, tapi itu akan sulit sekali dicapai, jadi itu tarik menarik antar kepentingan," lanjut dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News