Bendahara Negara itu menyebutkan, biaya terbesar untuk penanganan perubahan iklim adalah pada sektor energi dan transportasi. Sementara itu, Indonesia merupakan penghasil batu bara terbesar di dunia, dengan lebih dari 60 persen komposisi bauran energi Indonesia berbasis batu bara yaitu Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).
"Kalau Indonesia akan menurunkan CO2 atau bahkan menuju yang disebut net zero emission, maka kita harus bisa mentransformasikan energi kita menuju kepada energi hijau. Artinya sumber energi yang berasal dari batu bara atau fossil fuels seperti minyak dan gas secara bertahap ditransformasikan," ujarnya dalam keterangan tertulis, Senin, 28 Maret 2022.
Sri Mulyani mengatakan, hal ini menimbulkan tantangan yang sangat kompleks. Di satu sisi Indonesia punya sumber daya batu bara dan masih menggunakan PLTU, dengan kebutuhan penggunaan energi akan terus meningkat. Jika Indonesia akan mengurangi penggunaan batu bara dan PLTU, maka Indonesia harus bisa mengkompensasikannya dengan ETM yang lebih tinggi.
"Jadi di dalam desain ETM ini sekarang dibahas mengenai bagaimana mengurangi porsi dari batu bara tanpa menyebabkan Indonesia harus membayar energi lebih mahal. Ini yang disebut affordability menjadi penting, bagaimana kita bisa mendesain transformasi energi menuju ke hijau, tapi di sisi lain ini menimbulkan keadilan," tegasnya.
Jika dilihat secara makro, terang dia, negara-negara lain bahkan negara maju pun masih menggunakan batu bara di sektor energinya. Eropa, Jepang, Korea, Tiongkok, India, dan bahkan Amerika Serikat (AS) masih menggunakan batu bara dan memiliki coalbase yang sangat besar dalam penggunaan energi mereka.
Karena itu, walaupun masih banyak negara lain yang masih bergantung pada penggunaan batu bara, namun Indonesia juga tetap menyiapkan ETM yang strategis. Indonesia tidak boleh terlalu cepat yang kemudian bisa menyebabkan ekonomi terdisrupsi, tapi juga tidak boleh terlambat supaya siap ketika dunia mulai menerapkan ETM.
Hal ini yang saat ini terus dilakukan pemerintah melalui kerja sama dengan berbagai lembaga. Ia menceritakan, momentum seperti COP-26 di Glasgow Indonesia termasuk yang memberikan showcase dan bahkan sampai memberikan technical proposal.
"Ini supaya mereka bisa melihat bahwa negara seperti Indonesia sangat serius (mendesain ETM) dengan menyiapkan policy, kerangka kebijakan, kita membuat mekanisme pasarnya, dan kita punya instrumen carbon tax-nya," tuturnya.
"Nanti ini semuanya siap untuk bisa dipakai pada saat dunia memang sudah bersepakat dan kita secara bersama-sama akan melakukan pentahapan secara sebaik mungkin," tambah dia.
Ia mengatakan, sektor swasta di Indonesia termasuk Kamar Dagang dan Industri (Kadin) sangat antusias untuk ikut dalam menjalankan transisi energi ini. Antusiasme ini akan memberikan suatu kesempatan bagi Indonesia untuk melakukan dan mendesain ETM bersama-sama dengan semua pihak.
Menurutnya, pemerintah, masyarakat, pelaku usaha, dan lembaga keuangan harus mendiskusikan desain ETM secara kolaboratif. Saat ini, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sudah mulai membuat taksonomi hijau yang juga akan diikuti oleh seluruh negara ASEAN dengan membuat taksonomi dan aturan-aturan di pasar keuangan dan pasar modal.
"Sehingga, ini bisa memfasilitasi perdagangan karbon. Tidak hanya secara domestik, tapi juga bisa secara global," jelas Sri Mulyani.
Dia bilang, sensitivitas yang tinggi seperti ini tentu membutuhkan banyak sekali pemikiran. Maka itu ia berharap lembaga pendidikan dan mahasiswa harus bisa ikut menyumbangkan ide dan pikiran dalam mendesain policy dan kerangka kebijakan yang baik ke depan. "Karena ini adalah isu yang akan terus dihadapi setidaknya beberapa dekade ke depan," ucapnya.
"Penting untuk menyelamatkan dunia, penting juga untuk menyelamatkan ekonomi, dan kita harus bisa mendesain policy instrumen maupun mekanisme transmisi yang adil (adjust) dan affordable (bisa terjangkau) yang tidak menyebabkan masyarakat dan industri terbebani terlalu besar, dan juga APBN tidak terbebani secara luar biasa besar," pungkas Sri Mulyani.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News