Illustrasi (ANT,Widodo S. Jusuf).
Illustrasi (ANT,Widodo S. Jusuf).

Indonesia Harus Bertarung Demi Menjadi Pemenang di TPP

Husen Miftahudin • 25 November 2015 20:41
medcom.id, Jakarta: Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menyatakan ketertarikannya untuk bergabung ke dalam pakta Kemitraan Trans Pasifik atau Trans Pacific Partnership (TPP) telah menimbulkan komentar berbagai pihak.
 
Trade Policy (TRAP) Forum menilai, sebelum merealisasikan pernyataan RI 1 di Washington DC beberapa waktu lalu tersebut, pemerintah harus menimbang penuh kepentingan ekonomi nasional jika bergabung ke dalam TPP.
 
Menurut Ketua TRAP Forum Hatanto Reksodipoetro, beberapa ketentuan TPP berpotensi menimbulkan tantangan yang tidak kecil. Hal itu karena banyak provisi di dalamnya yang akan menuntut pemerintah melakukan banyak penyesuaian, baik kebijakan maupun peraturan perundangan.

Hatanto menyebut, beberapa ketentuan yang perlu diamati adalah pembukaan akses ke belanja pemerintah, persaingan bebas untuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang melakukan kegiatan komersial murni, komitmen terhadap isu lingkungan dan tenaga kerja, larangan ketentuan kandungan lokal, pembukaan pembukaan pertukaran tenaga profesional tanpa syarat, serta dianutnya konsep Investor State Dispute Settlement (ISDS) yang menungkinkan investor bisa langsung mempersengketakan pemerintah negara anggota melalui tribunal internasional.
 
"Dari draft perjanjian TPP, perjanjian inilah yang paling komprehensif dan ambisius untuk mengintegrasikan perekonomian ke-12 anggotanya. Namun, ikut atau tidak ikut Indonesia ke TPP atau kerjasama serupa lainnya, pertanyaan mendasarnya yang perlu kita pertimbangkan adalah maukah Indonesia bertarung menjadi pemenang. Itu kuncinya," ujar Hatanto di kantor TRAP Forum, Jalan Jambu No 32, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (25/11/2015).
 
Dia menambahkan tak hanya mencakup kesepakatan pembukaan akses pasar untuk barang, jasa dan investasi, tetapi juga kerjasama di bidang lain yang mengikat seperti belanja pemerintah (government procurement), Hak Kekayaan Intelektual (HaKI), persaingan usaha, koherensi peraturan perundangan dalam perdagangan dan investasi, tenaga kerja, dan yang lainnya.
 
"Di situ terlihat bahwa perjanjian TPP dirundingkan dan disepakati dalam konteks mata rantai pasokan global atau global value chain (GVC). Dengan GVC, suatu produk tidak lagi diproduksi sepenuhnya di satu negara, tetapi memanfaatkan input dari sumber-sumber yang termurah untuk diolah menjadi nilai tambah," ujar dia.
 
Menilik kemitraan ekonomi, lanjut dia, sebenarnya menawarkan kesempatan bagi Indonesia untuk bersaing mendapatkan akses pasar ekspor barang dan jasa serta mengundang investasi secara lebih luas.  Namun jika Indonesia tak mau bertarung dan hanya mengandalkan ekspor komoditas, jangan harap bakal jadi pemenang.
 
"Dengan masih mengandalkan komoditas ekspor yang harganya cenderung terus menurun, sulit rasanya bagi Indonesia untuk bertarung kuat dalam skim seperti TPP maupun kerjasama kemitraan lainnya," tegas Hatanto.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(SAW)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan