Menurutnya ada banyak variabel yang harus menjadi pertimbangan pemerintah dalam memutuskan tarif cukai rokok. Sebab kebijakan ini meliputi banyak aspek, bukan hanya penerimaan negara saja, tetapi masalah kesehatan hingga tenaga kerja.
"Jadi, dalam memformulasikan kebijakan cukai rokok ini realita yang disampaikan selalu ada masalah policy yang harus didesain," katanya saat memberikan kuliah umum dalam rangka Dies Natalis FEB UI di Jakarta, Rabu, 18 November 2020.
Dari sisi kesehatan, kebijakan cukai rokok bisa digunakan untuk mengurangi prevalensi merokok baik anak-anak, perempuan, maupun orang dewasa. Aspek berikutnya tenaga kerja yang berada di industri rokok bisa terimbas kebijakan ini.
Ketiga, petani tembakau yang memasok ke industri rokok juga bisa terkena dampak kebijakan cukai rokok. Kemudian bagaimana pemerintah memerangi rokok ilegal dan penerimaan negara yang berkaitan dengan kebijakan cukai rokok.
"Jadi bayangkan, policy maker melihat lima variabel dengan satu instrumen, lima goals satu instrumen. Berarti kita mencoba seimbangkan saja, tidak ada satupun merasa dia paling menang," ungkapnya.
Ia menambahkan saat ini Bea Cukai terus berupaya untuk melakukan kajian mengenai tarif cukai rokok. Kajian tersebut diharapkan bisa menyeimbangkan kesemua aspek agar pemerintah bisa mengumumkannya ke publik.
"Kemarin juga ada demo dari para buruh rokok, mereka datang ke Monas, datang ke Presiden. Petani demo minta nggak naik. Di satu sisi demo enggak naik, ada yang minta naik banget. Nanti akan dikeluarkan pada waktunya, untuk tujuan paling optimal dan obyektif," pungkas dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News