Dirjen Pajak Robert Pakpahan mengatakan metode tersebut tak berlaku bagi wajib pajak yang memiliki dan bisa menunjukkan pembukuan atau pencatatan keuangan usahanya. Metode tersebut digunakan DJP sebagai langkah terakhir kala wajib pajak tak bisa menunjukkan bukti pembukuan tersebut.
"Aturan ini hanya mengantisipasi saja apabila ada yang enggak punya catatan, maka kita harus punya metode," kata Robert, di Kantor Pusat DJP, Jakarta Selatan, Senin, 5 Maret 2018.
Menurut Robert metode penghitungan sebetulnya lebih banyak dikenakan pada Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) dengan omset di bawah Rp48 miliar. Sementara untuk usaha yang establish, yakni dengan omset lebih dai Rp48 miliar sudah pasti memiliki pembukuan sehingga tak berlaku metode pengitungan ini bagi kelompok tersebut.
Bahkan, kata Robert, apabila diteliti kembali dari hasil pemeriksaan yang dilakukan otoritas maka hanya sebagian kecil yakni sekitar 0,1 persen yang dipertanyakan terkait pembukuan. PMK yang baru dikeluarkan DJP, setidaknya terdapat delapan metode atau cara lain penghitungan yang dilakukan DJP ketika wajib pajak tak menunjukkan pembukuan.
Pertama, penghitungan peredaran bruto menggunakan metode transaksi tunai dan nontunai. Kedua, penghitungan menggunakan sumber dan penggunaan dana. Ketiga, penghitungan menggunakan satuan dan/atau volume usaha yang dihasilkan wajib pajak.
Keempat, penghitungan menggunakan metode biaya hidup. Kelima, penghitungan menggunakan metode pertambahan kekayaan bersih. Keenam, penghitungan berdasarkan Surat Pemberitahuan atau hasil pemeriksaan tahun pajak sebelumnya.
Ketujuh, penghitungan menggunakan metode proyeksi nilai ekonomi dari suatu kegiatan usaha. Terakhir yakni menggunakan metode penghitungan rasio.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id