Ilustrasi. Foto: dok MI/Panca Syurkani.
Ilustrasi. Foto: dok MI/Panca Syurkani.

Pemerintah Diminta Moderat Rumuskan Cukai Hasil Tembakau

Husen Miftahudin • 19 Agustus 2024 12:18
Jakarta: Dalam dokumen Nota Keuangan, pemerintah menargetkan penerimaan cukai dalam RAPBN 2025 sebesar Rp244.198,4 miliar atau tumbuh 5,9 persen (setara Rp244,2 Triliun).
 
Terkait hal tersebut, Peneliti Pusat Penelitian Kebijakan Ekonomi (PPKE) Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya (FEB UB) Malang Imanina Eka Dalilah mewanti-wanti agar pemerintah perlu berpikir secara moderat sebelum menerapkan kebijakan kenaikan cukai hasil tembakau (CHT) mendatang.
 
Imanina mengingatkan implikasi yang ditimbulkan dari sebuah kebijakan CHT. Misalnya, dampak ekonomi dan sosial ke masyarakat. Sebab, kebijakan CHT ini bukan soal pendapatan negara maupun kesehatan semata.
 
"Banyak yang bakal terdampak dari kebijakan CHT di Indonesia, mulai dari tenaga kerja, industri, hingga pertanian," kata Imanina, dikutip dari pernyataan tertulis, Senin, 19 Agustus 2024.
 
Berdasarkan hasil kajian PPKE FEB UB (2023), peningkatan tarif CHT tidak serta merta menurunkan minat merokok masyarakat. Namun justru konsumen cenderung mencari produk rokok yang harganya dianggap memenuhi kemampuan daya belinya.
 
Oleh sebab itu, setiap kenaikan tarif CHT perlu diiringi peningkatan pengawasan yang semakin ketat terhadap sejumlah perusahaan rokok yang diduga memproduksi rokok ilegal. "Penurunan volume produksi rokok karena merebaknya rokok ilegal tentu merugikan negara," tegas dia.
 

Peredaran rokok ilegal naik

 
Diketahui, Ditjen Bea dan Cukai mencatat tingkat peredaran rokok ilegal pada 2023 mengalami peningkatan menjadi 6,86 persen. Angka itu menunjukkan ada potensi penerimaan negara yang tidak terselamatkan senilai Rp15,01 triliun.
 
Menurut Imanina, penyebab meningkatnya rokok ilegal dikarenakan harga rokok yang telah cukup tinggi disertai dengan kenaikan tarif CHT yang terus meningkat setiap tahunnya.
 
Hal ini mendorong perokok dengan pendapatan yang lebih rendah cenderung membeli rokok ilegal sebagai kompensasi atas kenaikan harga rokok yang terjadi. Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), lebih dari 70 persen perokok di Indonesia berasal dari keluarga dengan pendapatan menengah ke bawah.
 
"Sebagian perokok di Indonesia berasal dari kelompok masyarakat berpenghasilan rendah," ungkap Imanina.
 
Merujuk hasil kajian sementara PPKE FEB UB (2024), rokok ilegal pada 2023 kontributor terbesarnya dari rokok ilegal jenis polosan dan salah peruntukan (saltuk). Tingginya rokok ilegal jenis polosan mengindikasikan kenaikan harga rokok yang sudah sangat tinggi.
 
Imanina menambahkan, rokok ilegal terutama yang polosan, seringkali dijual dengan harga jauh lebih murah dibandingkan rokok legal.
 
"Hal tersebut menarik bagi konsumen dari berbagai lapisan, khususnya masyarakat berpenghasilan rendah, yang mencari alternatif lebih murah tanpa menyadari atau mengabaikan risiko kesehatan," imbuh dia.
 
Baca juga: Kenaikan Cukai Rokok Disarankan Moderat dan Multiyears, Ini Alasannya
 

Pengawasan peredaran rokok ilegal lemah

 
Imanina mengungkapkan, hasil kajian juga menyatakan tingginya rokok ilegal jenis salah peruntukan (saltuk) mengindikasikan masih kurangnya pengawasan dan lemahnya penegakan hukum di Indonesia.
 
"Pasalnya, rokok dengan saltuk menunjukkan adanya manipulasi dalam pelaporan jenis atau tujuan distribusi rokok untuk menghindari tarif cukai yang lebih tinggi," tegas Imanina.
 
Dalam konteks inilah, Imanina mendorong pemerintah perlu melibatkan para pemangku kepentingan dalam merumuskan arah kebijakan CHT mendatang.
 
"Sebab, kenaikan cukai yang diputuskan secara tidak berimbang akan berpotensi besar mendorong angka inflasi di Indonesia menjadi semakin dalam," katanya.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News

Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(HUS)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan