"Jika pada akhir 2014 angka inflasi Sumbar terbilang tinggi, memasuki awal 2015 terjadi deflasi di mana pada Januari sebesar 1,79 persen, Februari 2,11 persen dan Maret 0,01 persen," kata Kepala Perwakilan Bank Indonesia Sumbar Puji Atmoko, di Padang, Rabu (8/4/2015).
Puji menjelaskan, deflasi adalah suatu keadaan di mana harga-harga secara umum turun dan nilai uang bertambah. Menurut dia, bahan pangan bergejolak (volatile food) menjadi faktor utama terjadinya deflasi di Sumatera Barat di mana berdasarkan disagregasi inflasi, kelompok volatile food mencatatkan deflasi sebesar 1,71 persen. Selain itu juga terjadi koreksi harga komoditas cabai merah pada Maret 2015 mencapai 20,8 persen dan komoditas beras sebesar 1,72 persen.
Ia mengatakan terjaganya pasokan cabai merah dan beras di wilayah Sumatera Barat merupakan faktor kunci karena masih berlangsungnya musim panen di beberapa daerah sentra produksi, dan cuaca yang relatif kondusif. Di sisi lain, kelompok administered price mencatatkan inflasi sebesar 1,17 persen pada Maret 2015.
"Hal ini merupakan dampak dari kebijakan pemerintah dalam menaikan harga bakar minyak (BBM) sebanyak dua kali yaitu pada 1 Maret 2015 dan 28 Maret 2015," ujarnya.
Selain itu, meningkatnya laju inflasi kelompok administered price juga didorong oleh kenaikan harga elpiji 12 kilogram per 1 Maret 2015 sebesar Rp5.000. Sementara itu, perkembangan harga kelompok inflasi inti (core inflation) masih terkendali," ucapnya.
Puji mengatakan tekanan inflasi Sumatera Barat diperkirakan meningkat pada April 2015 karena kondisi harga minyak mentah dunia yang mengalami kenaikan dan adanya depresiasi nilai tukar rupiah. Hal ini mendorong pemerintah untuk melakukan penyesuaian harga sejumlah komoditas energi strategis.
"Perkiraan tekanan inflasi yang meningkat juga didorong oleh deflasi kelompok volatile food yang tidak sebesar bulan-bulan sebelumnya, terutama untuk komoditas cabai merah," pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News