Ilustrasi serapan anggaran - - Foto: MI/ Usman Iskandar
Ilustrasi serapan anggaran - - Foto: MI/ Usman Iskandar

Isu Serapan APBD yang Lambat Jadi Masalah Klasik

M Ilham Ramadhan • 26 November 2021 13:04
Jakarta: Direktur Riset dari Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah mengatakan lambatnya serapan belanja APBD merupakan isu serius sekaligus klasik. Tiap menjelang akhir tahun, isu tersebut mencuat dan tak pernah ada solusinya.
 
"Kalau seorang Presiden dan Menteri Keuangan mengeluh, itu tidak tepat. Pak Jokowi itu sudah menjadi Presiden selama tujuh tahun, dan seharusnya masalah ini sudah diketahui beliau sejak awal. Apalagi Bu Sri Mulyani, sudah sejak kapan dia menjadi Menkeu? Dan masalah ini sudah dihadapi sebelum zaman Presiden Jokowi, dan setiap tahun dia mengeluhkan hal yang sama," imbuh Piter.
 
"Jadi menurut saya, ini bukan waktunya untuk mengeluh, bukan waktunya untuk curcol, hanya untuk mengatakan prihatin, tapi cari solusinya. Mereka (pemerintah) yang harusnya tahu apa penyebabnya," sambung dia.

Piter mengatakan minimnya kinerja belanja APBD bisa jadi disebabkan oleh kebijakan reward and punishment yang tidak sepadan, atau bahkan menarik. Di saat yang sama, kinerja anggaran juga belum menjadi indikator penting dalam pemilihan kepala daerah. Hal itu membuat kepala daerah tak bekerja maksimal dalam pengelolaan dan penyerapan anggaran.
 
"Tidak ada insentif bagi seorang gubernur untuk sepenuhnya merealisasikan anggarannya 100 persen. Di satu sisi mereka punya insentif untuk menahan anggarannya, ada insentifnya itu, kalau uangnya lebih banyak di perbankannya, itu banyak insentifnya, salah satunya adalah bunga bank," jelas Piter.
 
Hal berikut yang kemungkinan menjadi sebab rendahnya serapan belanja APBD ialah gagalnya implementasi pemerataan anggaran. Piter menilai, upaya itu sejatinya dirumuskan dan ditetapkan dalam transfer ke daerah.
Namun menurutnya implementasi kebijakan itu tak sesuai dengan konsep awal. Alih-alih memunculkan pemerataan anggaran daerah, yang timbul justru ketimpangan APBD. Hal itu dapat dilihat dari besarnya celah perbedaan kemampuan anggaran daerah.
 
"Jadi tidak sama antardaerah, mungkin ada yang sudah 100 persen mungkin (realisasi belanja), ada juga yang mungkin di bawah 56 persen. Intinya, ini adalah persoalan klasik yang tidak dicarikan tuntas solusinya dan kemudian berdampak pada perekonomian nasional," imbuh Piter.
 
"Kalau perekonomian daerah tidak maksimal karena realisasi tidak maksimal dan tidak ada stimulus untuk menggerakkan ekonomi, yang dirugikan itu jadi perekonomian nasional. Ini makanya penting sekali untuk dicarikan solusi. Pemerintah itu tidak hanya sekadar mengeluh, prihatin, marah-marah tanpa solusi," pungkas dia.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(Des)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan