Demikian dikatakan oleh Direktur Eksekutif Indef Enny Sri Hartati dalam Seminar Evaluasi dan Proyeksi Ekonomi Indonesia 2015 bertema 'Tantangan Kabinet Kerja Memenuhi Ekspektasi' di Hotel Grand Sahid, Jakarta Pusat, Kamis (27/11/2014).
Indikator tersebut yakni, pertama, angka pertumbuhan ekonomi rata-rata berkisar 5-6 persen. Kedua, peran investasi meningkat dari 23 persen menjadi 31 persen. Ketiga, kinerja perbankan terus membaik, perkembangan aset rata-rata tumbuh 16,44 persen, dana pihak ketiga (DPK) 15,88 persen, dan kredit 21,62 persen.
Keempat, persentase angka kemiskinan menurun dari 16,66 persen menjadi 11,25 persen di tahun 2014. Kelima, tingkat pengangguran terbuka menurun, dan pekerjaan formal naik dari 29,38 persen menjadi 39,90 persen di 2013. Keenam indeks pembangunan manusia (IPM) meningkat 7,45 persen dari 68,7 persen, pada 2013 menjadi 73,45 persen.
"Namun, walaupun enam indikator mengalami perbaikan, masih terdapat beberapa catatan, pertumbuhan yang dihasilkan masih didominasi oleh sektor non tradable, penyebaran investasi belum merata, pengangguran terbuka masih banyak dan hanya bergeser ke sektor informal, penurunan angka kemiskinan dan peningkatan indeks pembangunan manusia (IPM) berjalan lambat," kata Enny.
Ada sepuluh indikator kinerja ekonomi yang mengalami kegagalan dalam 10 tahun terakhir yakni, pertama ketimpangan yang melebar terlihat dari gini ratio naik 0,5 dimana pada 2004 angkanya 0,32 naik pada 2013 naik menjadi 0,41.
Kedua, deindustrialisasi, kontribusi sektor industri terhadap produk domestik bruto (PDB) menurun pada 2004 sebesar 28 persen dan 2014 13,5 persen. Ketiga, neraca perdagangan pada 2004 surplus USD25,06 miliar menjadi defisit pada 2013 sebesar USD4,06 miliar. Keempat, pertumbuhan ekonomi tinggi tapi tidak dapat menciptakan lapangan kerja. Elastisitas 1 persen pertumbuhan dalam membuka lapangan kerja turun dari 436 ribu di 2004 menjadi 164 ribu di 2013.
Kelima, efisiensi ekonomi semakin memburuk ditandai dengan semakin tingginya indeks ICOR dari 4,17 menjadi 4,5 karena adanya inefisiensi birokrasi, korupsi, dan keterbatasan infrastruktur.
Keenam tax ratio yang justru turun 1,4 persen. Selanjutnya, kesejahteraan petani menurun. Nilai tukar petani selama sepuluh tahun terakhir turun 0,92 persen.
Kedelapan soal utang pemerintah yang kian mencemaskan. Kesembilan, defisit anggaran yang naik menjadi 1,19 persen dari yang tadinya surplus 1,83 persen.
"Terakhir, postur APBN yang semakin tidak proporsional, boros, dan semakin didominasi pengeluaran rutin dan birokrasi," tukasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News