Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi B. Sukamdani mengatakan diperlukan peta jalan yang lebih tinggi dari undangan-undang. Pemerintahan Indonesia yang menganut sistem demokrasi juga menjadi tantangan tersendiri lantaran kedudukan presiden sama tinggi dengan dewan perwakilan rakyat.
"Ini kelemahan kita tidak punya Garis Besar Haluan Negara (GBHN) seperti dulu," kata Hariyadi ditemui di Kompleks perkantoran Bank Indonesia, Jakarta, Jumat, 3 Mei 2019.
Menurut Hariyadi, pihak profesional pasti akan ikut terlibat dalam pendanaan setelah mendapat kepastian. Sebab, proyek jangka panjang ini rentan direvisi bila terjadi perbedaan prioritas saat berganti pemerintahan di masa depan.
"Kalau dulu ada Ketetapan MPR, lembaga tertinggi negara. Saat ini tidak ada lembaga tertinggi negara, semua sama lembaga tinggi dan ini harus jadi faktor yang dipertimbangkan," ungkapnya.
Sebagai contoh, kata Haryadi, Indonesia pernah sangat fokus pada proyek industri dirgantara era Presiden RI ke-3 Bacharuddin Jusuf Habibie. Investasi besar telah dikucurkan di sektor tersebut akan tetapi kemajuan program itu timbul tenggelam.
"Industri pesawat dulu biaya yang kita keluarkan berapa banyak. Tapi karena terjadi pergantian pemerintahan tidak diteruskan, lalu itu bagaimana? investasi sudah dikelurkan sedemikian banyak, jangan sampe nanti masalah ibu kota juga seperti itu," ujarnya.
Namun demikian, upaya realisasi pemindahan ibu kota yang saat ini muncul bukan tidak mungkin terealisasi. Faktor penghambat perlu mendapat kajian yang sangat matang.
"Sebab memerlukan persiapan tata ruang, dana, dan kesiapan daerah dan sebaginya, yang jelas tidak mungkin selesai dalam waktu 5 tahun masa bakti presiden yang nanti ini akan berjalan, jadi harus dipertimbangkan," pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News