Koordinator Harian Sekretariat Nasional Stranas PK-KPK Herda Helmijaya mengatakan, Stranas PK mencoba untuk melihat optimalisasi penerimaan negara dari bukan pajak (PNBP) selama 2021-2022. Menurutnya, optimalisasi penerimaan cukai akan mendorong peningkatan penerimaan negara melalui pembenahan PNBP dan cukai.
"Peningkatan penerimaan negara melalui pembenahan penerimaan negara bukan pajak dan cukai itu masuk dalam fokus aksi Stranas PK," kata Herda dalam webinar 'Mendorong Optimalisasi Penerimaan Negara dari Cukai Hasil Tembakau', dalam keterangan tertulis, Selasa, 31 Mei 2022.
Herda mengatakan, pengaturan optimalisasi penerimaan dari industri tembakau tetap dikelola sejalan dengan empat pilar kebijakan cukai hasil tembakau yakni pengendalian konsumsi, tenaga kerja, penerimaan negara, dan peredaran rokok ilegal. Oleh karena itu, Stranas PK terus mengawasi proses pembahasan roadmap industri hasil tembakau yang telah mempertimbangkan keempat aspek tersebut.
"Roadmap industri tersebut harus sejalan dengan Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) maupun daerah (RPJMD) untuk kemudian diikuti oleh semua kementerian lembaga. Saat ini reformasi fiskal dalam RPJMN mengamanatkan diantaranya kenaikan tarif cukai serta penyederhanaan struktur cukai secara bertahap," ungkapnya.
Sekjen Transparency International Indonesia Danang Widoyoko menyoroti praktik penghindaran pajak sebagai penghambat optimalnya penerimaan negara. Ia menyebut, penghindaran pajak menjadi konsekuensi lain dari kebijakan kenaikan cukai hasil tembakau serta pengaturan struktur cukai hasil tembakau.
Danang mengatakan hal ini terjadi karena cukai hasil tembakau saling terkait dengan berbagai kepentingan, mulai dari kesehatan, industri, tenaga kerja, dan penerimaan negara. Untuk itu, ia menilai upaya pemerintah yang telah merumuskan kebijakan penyederhanaan struktur tarif cukai hasil tembakau merupakan langkah yang tepat, khususnya dalam memberikan kepastian dalam menentukan jumlah penerimaan negara.
"Tahun ini struktur tarif cukai hasil tembakau lebih sederhana dari 10 menjadi delapan, ada kemajuan karena lebih sederhana. Namun masih banyak pengaturan dalam kebijakan hasil cukai yang saat ini masih menjadi celah penghindaran pajak yang dilakukan utamanya oleh perusahaan besar," ujar dia.
Ia menambahkan, dengan ketentuan pembatasan produksi golongan 2 pada rokok mesin yang berubah pada 2017 dari dua miliar batang menjadi tiga miliar batang, serta selisih tarif cukai antara golongan yang sangat besar memicu perusahaan untuk melakukan penghindaran pajak sehingga penerimaan cukai tembakau saat ini belum optimal.
"Jadi kalau tidak diantisipasi, praktik penghindaran pajak ini makin marak. Penghindaran pajak itu bukan ilegal atau melanggar hukum. Ke depan bagaimana regulasi ini menutup celah-celah ini? Mudah-mudahan ke depan, kebijakan cukainya akan lebih inklusif dan menutup peluang penghindaran pajak," lanjut dia.
Sementara itu, Analis Kebijakan Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febri Pangestu mengatakan dari sisi pengendalian konsumsi, kebijakan tarif cukai hasil tembakau ditujukan agar harga rokok semakin tidak terjangkau. Namun dilihat dari sisi konsumsinya, pemesanan pita cukai justru sangat melonjak pada 2019 dan 2021.
"Dari sisi pengendalian, ini memang kurang menggembirakan karena konsumsi rokoknya ternyata naik padahal masih pandemi. Penyebabnya terkait pola konsumsi selama pandemi dan karena pada saat itu tidak ada penyesuaian harga jual eceran minimum sehingga boleh jadi harganya tidak terlalu berubah di masa pandemi," katanya.
Febri mengatakan, penyederhanaan struktur tarif cukai merupakan upaya yang tepat dalam mencegah praktik penghindaran pajak. Bahkan ia menilai, kebijakan ini tak hanya mendorong penegakan hukum saja tetapi juga membuat penerimaan negara meningkat.
"Dari sisi penerimaan, secara perhitungan, pasti naik. Tetapi, kita tetap mendukung persaingan usaha yang sehat. Jadi secara perkiraan, penyederhanaan struktur tarif cukai pasti akan mendukung kepatuhan hukum dan mengurangi penghindaran pajak," pungkas dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News