Ilustrasi. FOTO: dok MI
Ilustrasi. FOTO: dok MI

Indonesia Disebut Masih Jauh dari Resesi, Kemungkinannya hanya 5%

Annisa ayu artanti • 18 Juli 2022 13:03
Jakarta: Perekonomian Indonesia diperkirakan masih relatif jauh dari resesi di tengah proyeksi krisis ekonomi dan resesi global yang diakibatkan oleh gelombang inflasi usai pandemi covid-19 dan memanasnya tensi politik global. Meski demikian, kewaspadaan harus ditingkatkan guna meminimalisir risiko yang muncul.
 
Adapun sejumlah indikator di dalam negeri dinilai relatif cukup aman menahan angin resesi yang dipicu oleh sejumlah sentimen negatif dari sejumlah kondisi di luar Indonesia. Investor didorong untuk mampu mengendalikan kepanikan dan kerakusan.
 
Chief Economist Bahana TCW Investment Management Budi Hikmat mengatakan probabilitas Indonesia terkena resesi global adalah sebesar lima persen. Sedangkan berdasarkan dari data Bloomberg, probabilitas Amerika Serikat (AS) terkena resesi adalah 40 persen.


"Artinya, Indonesia masih jauh dari resesi. (Untuk Indonesia) saya lihat ini volatility, alih-alih tsunami," ujar Budi, dikutip Senin, 18 Juli 2022.
 
Kendati Indonesia dikatakan masih jauh dari krisis global, Budi mengungkapkan, Indonesia sesungguhnya menghadapi ancaman krisis yang lebih pasti, yakni growing old before growing rich atau menua sebelum kaya.
Baca: Airlangga: Presiden Bahas Perekonomian dengan Direktur Pelaksana IMF

Budi menyebutkan demografi penduduk Indonesia akan mulai menua pada 2030. Hal itu akan menjadi risiko apabila masyarakat belum menyiapkan investasi sedari sekarang. "Makanya kita persiapkan investasi dari sekarang," ujarnya.
 
Dia mengakui, selama berpuluh tahun mengamati kondisi ekonomi ada sejumlah hal yang membedakan antara krisis 1998, krisis 2008, 2013, krisis 2020, serta krisis kali ini yang dipicu oleh situasi pandemi.
 
Pada krisis yang disebabkan oleh pandemi, lanjutnya, berbagai negara melakukan pagelaran stimulus luar biasa. Dia mencontohkan bank sentral yang menciptakan likuiditas luar biasa sehingga suku bunga rendah. Kemudian ada fenomena kenaikan aset kripto.
 
Namun, globalisasi telah menyebabkan proses penemuan vaksin berlangsung sangat cepat. Hal ini menyebabkan ketimpangan stimulus di tengah pandemi, juga dinamika lainnya termasuk pembukaan kembali mobilitas.
 
Pandemi pun menyebabkan pembatasan pergerakan orang serta hilangnya banyak nyawa, sehingga ada kelangkaan tenaga kerja dan modal. Ada kebutuhan untuk menaikkan suku bunga. Namun, di saat yang sama, ada ancaman inflasi tinggi pascapandemi.
 
"Di AS, persoalan ini lebih kompleks lagi,” imbuhnya.
 
Menurutnya Indonesia dan dunia perlu mewaspadai inflasi tinggi yang diperkirakan berlangsung cukup lama. Indonesia sebetulnya memiliki posisi yang cukup diuntungkan. Pasalnya, inflasi yang ada di Indonesia saat ini dipicu oleh pergerakan komoditas.

 
"Komoditas itu ada dua jenis. Ada cost commodity seperti minyak. Ada income commodity yang menghasilkan valas, seperti coal, nikel, karet, CPO, dan gas. Sejauh ini, kita masih beruntung karena income commodity tumbuh lebih pesat ketimbang cost commodity," pungkasnya.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(ABD)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan