Ketua Banggar DPR Said Abdullah justru mendorong pemerintah untuk menerapkan fasilitas pajak (sunset policy) yang pernah diterapkan pada 2008 silam.
“Pemerintah seharusnya tidak bicara lagi soal tax amnesty jilid II. (ada) permasalahan pada tax amnesty jilid I di 2016 dan 2022 dilakukan kembali hemat saya bukan tax amnesty, hemat saya yang harus dilakukan oleh pemerintah dalam kerangka konsolidasi kebijakan fiskal dan keberlanjutannya adalah sunset policy, tidak memerlukan tax amnesty, tidak boleh dilakukan,” kata Said dikutip dari Mediaindonesia.com, Kamis, 20 Mei 2021.
Tax amnesty merupakan program Kementerian Keuangan yang diluncurkan lantaran kepatuhan masyarakat dalam melaporkan pajak masih minim. Kendalanya ialah ruwetnya penghitungan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Karenanya, kala itu pemerintah memberlakukan tax amnesty untuk menghapus denda keterlambatan pajak.
Sedangkan sunset policy merupakan penghapusan sanksi administrasi perpajakan berupa bunga yang diatur dalam pasal 37A Undang Undang 28/2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Kala itu, sunset policy bertujuan untuk mendorong wajib pajak lebih jujur, konsisten, dan sukarela dalam melaksanakan kewajiban pajaknya.
Said beranggapan, kebijakan tax amnesty jilid II yang santer direncanakan pemerintah dinilai tidak akan menambah jumlah wajib pajak maupun penerimaan negara. Apalagi pemerintah mempunyai kewajiban untuk membawa APBN dalam kondisi normal dengan defisit di bawah tiga persen pada 2023. Dia juga mendorong pemerintah tidak menyelipkan agenda pengampunan pajak itu ke dalam revisi UU 28/2007 yang akan dibahas bersama DPR.
"Tax amnesty jilid II tidak ada, direvisi (UU) KUP jangan muncul tax amnesty, sekali seumur hidup hanya satu generasi dilakukan. (kalau) Sunset policy barang kali kita setuju,” tegas Said. Sementara itu Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Nathan Kacaribu enggan mengomentari ihwal isu tax amnesty jilid II yang digulirkan Kemenkeu.
“Itu nanti dibahas sama DPR saja, (saya) tidak bisa klarifikasi. Pembahasannya di DPR, (dan) belum ada pembahasan,” ujarnya singkat. Diketahui sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, Presiden Joko Widodo telah bersurat kepada DPR mengenai rencana revisi UU Perpajakan. Dalam revisi itu pemerintah berencana mengubah skema penghitungan tarif PPN dan salah satu yang diusulkan ialah pengampunan pajak.
“Itu akan mengubah skema penghitungan tarif PPN, Pajak Penghasilan (PPh), pengurangan tarif PPh Badan, beberapa hal yang berkaitan dengan Pajak Pertambahan Nilai atas Barang Mewah (PPnBM), pajak penjualan, pajak penjualan, pajak barang/jasa, pajak karbon, hingga pengampunan pajak,” imbuhnya kemarin. “Hasilnya kita tunggu pembahasan dengan DPR. Ini dirasa perlu, sehingga ada hal yang diatur dan membuat pemerintah mengatur sektor manufaktur, perdagangan dan jasa. Ini akan diberklakukan pada waktu yang tepat dan skenario akan dibuat lebih luas, artinya tidak kaku seperti yang selama ini diberlakukan,” pungkas Airlangga.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News