Dilansir dari laporan Debt Portofolio Review DJPPR, Rabu, 19 Mei 2021, penambahan utang berasal dari Surat Utang Negara (SUN) sebesar Rp194,6 triliun, Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) sebesar Rp108,4 triliun, serta pinjaman tunai sebesar Rp20,4 triliun.
Untuk SUN, mengutamakan penerbitan melalui lelang, penerbitan Samurai Bond, dan private placement dilakukan dengan tujuan khusus. Sedangkan di SBSN, mengutamakan penerbitan melalui lelang, penerbitan Sukuk Valas, serta private placement dilakukan dengan tujuan khusus.
"Pengadaan pinjaman tunai dari World Bank, AIIB, KfW, dan JICA. Sumber pemberi pinjaman dapat berubah sesuai dengan progress negosiasi dan penyiapan dokumentasinya," tulis keterangan laporan tersebut.
Pemerintah menilai, risiko ekonomi makro cenderung meningkat di kuartal II ini yang dibarengi dengan peningkatan risiko pembiayaan utang. Hal ini menjadi alasan penarikan utang pemerintah yang lebih rendah dibandingkan kuartal sebelumnya.
Risiko ekonomi makro yang meningkat disebabkan pemulihan ekonomi Amerika Serikat (AS) yang lebih cepat, tensi geopolitik akibat kemungkinan berlanjutnya perang tarif AS-Tiongkok dan krisis Myanmar, serta penundaan pemberian vaksin AstraZeneca di beberapa negara.
Sementara itu, risiko pembiayaan utang meningkat didorong oleh tekanan kenaikan US Treasury dan perbaikan ekonomi AS yang progresif. Kondisi ini berpotensi untuk mendorong aliran modal asing keluar (capital outflow) dan kecenderungan pelemahan kurs rupiah.
Untuk mitigasinya, pemerintah menerapkan liabilities management (debt switch and buyback), memaksimalkan penerbitan SBN di kuartal III dan kuartal IV, memanfaatkan dukungan BI sebagai stand by buyer untuk memperoleh pembiayaan yang efisien, serta berkoordinasi dengan kreditur pinjaman.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News