Jakarta: Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan pemerintah terus mengembangkan kebijakan inovatif dalam menghadapi tantangan perubahan iklim. Kebijakan ini dilakukan melalui tiga cara di antaranya adalah Climate Change Fiscal Framework (CCFF), carbon pricing, dan pooling fund bencana.
CCFF merupakan kerangka untuk memformulasikan kebijakan fiskal dan strategi memobilisasi dana diluar dana APBN. Kebijakan fiskal telah memasukkan isu perubahan iklim dalam desainnya, mulai dari financing supply, financing need, financing gap, hingga strategi fiskalnya.
"Selain itu juga mengidentifikasi asal pendanaannya dari pajak, hibah, swasta, atau berasal dari negara maju yang berjanji untuk memberikan bantuan negara berkembang melakukan mitigasi dan adaptasi. Bagaimana membuat financing itu happen. Jadi tidak retorika, ini adalah sesuatu yang real," kata dia dilansir dari laman Kemenkeu, Rabu, 10 November 2021.
Selanjutnya, pemerintah menggunakan mekanisme pasar dalam menekan laju perubahan iklim dengan memperkenalkan carbon pricing. Menurutnya, fenomena perubahan iklim dalam ilmu ekonomi dikenal sebagai market barrier yaitu sesuatu yang menyebabkan konsekuensi negatif tapi tidak terlihat dalam harga, seperti produksi CO2 dalam industri.
Untuk itu, dunia sedang mengupayakan pembentukan harga karbon sehingga orang tahu konsekuensinya. Di Indonesia, Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan sebagai bagian dari reformasi perpajakan untuk membangun sistem perpajakan yang adil, sehat, efektif, dan sederhana telah memasukkan pajak karbon untuk menangani perubahan iklim.
Dalam ketentuan mengenai pajak karbon ini, objeknya adalah barang yang mengandung karbon dan aktivitas yang mengemisi karbon. Subjek pajaknya yaitu orang pribadi dan badan usaha dengan tarif Rp30 per kg CO2 ekuivalen. Penerapan pajak karbon diharapkan bisa melindungi alam sekaligus melindungi perekonomian.
"Penerapan nilai ekonomi karbon itu tidak mudah namun harus dimulai, pasti kompleks. Inilah yang menjadi perjuangan kita sekarang bagaimana melindungi kepentingan Indonesia, melindungi alam kita, melindungi ekonomi kita, dan melindungi penduduk kita," ungkapnya.
Sementara kebijakan ketiga yaitu pooling fund bencana dilatarbelakangi oleh tingginya risiko bencana di Indonesia. Menurut Bank Dunia, Indonesia berada pada peringkat 12 dari 35 negara yang rentan terhadap bencana. Oleh karena itu, pemerintah membentuk pooling fund yang bisa membiayai saat terjadi bencana.
"Sekarang kita mencoba mengelola kalau terjadi bencana selain pencegahan di hulunya kita bicara di hilirnya. Begitu bencana terjadi kita punya anggaran untuk menolong makanya kami sekarang membuat apa yang disebut pooling fund bencana. Banyak hal yang memang membutuhkan suatu sofistikasi," pungkas dia.
CCFF merupakan kerangka untuk memformulasikan kebijakan fiskal dan strategi memobilisasi dana diluar dana APBN. Kebijakan fiskal telah memasukkan isu perubahan iklim dalam desainnya, mulai dari financing supply, financing need, financing gap, hingga strategi fiskalnya.
"Selain itu juga mengidentifikasi asal pendanaannya dari pajak, hibah, swasta, atau berasal dari negara maju yang berjanji untuk memberikan bantuan negara berkembang melakukan mitigasi dan adaptasi. Bagaimana membuat financing itu happen. Jadi tidak retorika, ini adalah sesuatu yang real," kata dia dilansir dari laman Kemenkeu, Rabu, 10 November 2021.
Selanjutnya, pemerintah menggunakan mekanisme pasar dalam menekan laju perubahan iklim dengan memperkenalkan carbon pricing. Menurutnya, fenomena perubahan iklim dalam ilmu ekonomi dikenal sebagai market barrier yaitu sesuatu yang menyebabkan konsekuensi negatif tapi tidak terlihat dalam harga, seperti produksi CO2 dalam industri.
Untuk itu, dunia sedang mengupayakan pembentukan harga karbon sehingga orang tahu konsekuensinya. Di Indonesia, Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan sebagai bagian dari reformasi perpajakan untuk membangun sistem perpajakan yang adil, sehat, efektif, dan sederhana telah memasukkan pajak karbon untuk menangani perubahan iklim.
Dalam ketentuan mengenai pajak karbon ini, objeknya adalah barang yang mengandung karbon dan aktivitas yang mengemisi karbon. Subjek pajaknya yaitu orang pribadi dan badan usaha dengan tarif Rp30 per kg CO2 ekuivalen. Penerapan pajak karbon diharapkan bisa melindungi alam sekaligus melindungi perekonomian.
"Penerapan nilai ekonomi karbon itu tidak mudah namun harus dimulai, pasti kompleks. Inilah yang menjadi perjuangan kita sekarang bagaimana melindungi kepentingan Indonesia, melindungi alam kita, melindungi ekonomi kita, dan melindungi penduduk kita," ungkapnya.
Sementara kebijakan ketiga yaitu pooling fund bencana dilatarbelakangi oleh tingginya risiko bencana di Indonesia. Menurut Bank Dunia, Indonesia berada pada peringkat 12 dari 35 negara yang rentan terhadap bencana. Oleh karena itu, pemerintah membentuk pooling fund yang bisa membiayai saat terjadi bencana.
"Sekarang kita mencoba mengelola kalau terjadi bencana selain pencegahan di hulunya kita bicara di hilirnya. Begitu bencana terjadi kita punya anggaran untuk menolong makanya kami sekarang membuat apa yang disebut pooling fund bencana. Banyak hal yang memang membutuhkan suatu sofistikasi," pungkas dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News