Kebijakan tersebut tertuang dalam Peraturan Direktur Jenderal (Perdirjen) Bea Cukai Nomor 37 Tahun 2017 tentang Tata Cara Penetapan Tarif Cukai Hasil Tembakau.
Dalam aturan itu, harga transaksi pasar (HTP) yang merupakan harga jual akhir rokok boleh 85 persen dari Harga Jual Eceran (HJE) atau harga yang tercantum dalam pita cukai. Hal ini tentu saja mengurangi bisa penerimaan cukai.
"Praktik ini menyebabkan merek rokok pabrikan golongan besar mampu langsung bersaing dengan pabrikan rokok-rokok kecil karena HJE-nya rendah," katanya dalam diskusi di Jakarta, Kamis, 18 Juni 2020.
Tauhid menambahkan jika perusahaan menjual 85 persen harga rokok dari HJE, maka potensi kehilangan penerimaan negara sebesar Rp1,26 triliun. Tak hanya itu, produsen bisa menjual di bawah 85 persen dari HJE asal dilakukan tidak lebih dari 40 kota yang disurvei Bea Cukai.
"HJE di bawah ini praktiknya banyak terjadi di kota-kota, ini tentu akan merugikan pabrikan kecil dan merusak pasar antargolongan. Terutama tadi golongan bawah akan merusak pasar di bawahnya," jelas dia.
Menurutnya keputusan pemerintah untuk meningkatkan tarif cukai rokok tidak menutup potensi penerimaan negara yang hilang. Apalagi kenaikan rata-rata 23 persen untuk cukai rokok dan 35 persen untuk HJE baru digunakan sebagai baseline pada 2019 dan membuat harga rokok naik tahun ini.
Peneliti Kebijakan Publik Emerson Yuntho menyebutkan kehilangan negara bisa meningkat sampai dengan Rp2,6 triliun. Kehilangan pendapatan akibat diskon rokok sebesar Rp1,73 triliun ditambah kenaikan HJE untuk segmen Sigaret Kretek Mesin (SKM) dan Sigaret Putih Mesin (SPM) sebesar 52,1 persen.
"Penerimaan potensinya banyak hilang kalau ini dibiarkan, jumlah industri akan turun drastis, tenaga kerja kurang, dan nanti pemerintah akan mengalami penerimaan cukai yang semakin berkurang bahkan menurun," ungkap dia.
Sementara itu, Plt Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara (PKPN) Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Oka Kusumawardani membantah kebijakan DJBC sebagai diskon rokok. Kebijakan ini, menurut Oka, sebagai upaya memberi ruang gerak bagi produsen karena mata rantai yang cukup panjang.
"Jadi setelah produksi itu ada jalur distribusi, ke wholesaler-nya, ke ritel, sampai akhirnya baru ke konsumen akhir. Aktivitas mata rantai ini kan memerlukan biaya di masing-masing tahapannya, untuk melakukan distribusi dengan baik, perlu ada ruang gerak di dalamnya," pungkas dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News