Berbagai respons dilakukan pemerintah guna mengatasi ancaman dari perubahan iklim, misalnya, berkontribusi dalam rangkaian kegiatan Conference Of The Parties (COP) United Nations Framework Convention On Climate Change (UNFCCC) yang dibentuk sejak 1992. Hal itu melatarbelakangi terbentuknya beberapa kesepakatan seperti Paris Agreement dan Glasgow Pacts.
"Di dalam rangka untuk terus berfokus kepada koalisi secara global dalam memerangi perubahan iklim, yaitu bagaimana dunia harus menghindari agar kenaikan suhu tidak melewati 1,5 derajat celcius dibandingkan dengan pada masa revolusi industri," kata Sri Mulyani, dilansir dari keterangan tertulisnya, Senin, 19 Desember 2022.
"Dengan tekad yang lebih ambisius ini maka seluruh dunia harus berkontribusi," tambahnya.
Baca: KCIC: Kereta yang Anjlok Bukan Rangkaian Kereta Cepat |
Salah satu fokus yang dianggap memberikan kontribusi terhadap kenaikan CO2 terbesar terdapat pada sektor energi. Dalam hal ini, Indonesia berkomitmen menurunkan CO2 melalui Nationally Determined Contribution (NDC) yang sudah disampaikan dalam Paris Agreement Indonesia akan menurunkan 29 persen persen.
"Dengan menggunakan sumber daya sendiri, atau 41 persen dengan dukungan internasional," tuturnya.
Dari sisi pembiayaan secara keseluruhan, Menkeu mengatakan, estimasi biaya yang dibutuhkan hingga 2030 mencapai Rp4.002,43 triliun untuk bisa mencapai tingkat penurunan CO2 yang diharapkan. Untuk bisa menjalankan program penurunan CO2, lanjutnya, pasti dibutuhkan dana yang tidak hanya berasal dari APBN.
"Melainkan bagaimana mengkomparasikan antarnegara policy-policy mana yang bisa kita gunakan untuk menarik modal atau dana anggaran yang berasal dari sumber privat dan juga filantropis untuk kita bisa blending di dalam rangka memenuhi kebutuhan biaya melakukan konversi energi, menjaga hutan, serta menangani limbah,” ujarnya.
Menkeu menambahkan peranan APBN dan instrumen fiskal dalam penanganan perubahan iklim ini dapat muncul dalam berbagai hal, salah satunya dalam melakukan pengembangan energi baru dan terbarukan, serta teknologi bersih melalui berbagai kemungkinan pemberian insentif, seperti insentif perpajakan baik di pemerintahan pusat maupun daerah.
"Kementerian Keuangan juga melakukan berbagai inovasi pembiayaan di dalam rangka untuk mendukung pembangunan yang sustainable atau SDG. Kita mengeluarkan Green Sukuk, SDG Bonds, sekarang ini kita bahkan membentuk yang disebut Badan Layanan Umum (BLU) untuk mengelola dana-dana untuk climate change," ucapnya.
"BPDLH adalah salah satu badan untuk pengelolaan lingkungan hidup, termasuk dana reboisasi. Berbagai dukungan internasional kita juga masukkan disini,” tambahnya.
Selain itu, Kementerian Keuangan juga memiliki Special Mission Vehicle (SMV) seperti PT SMI sebagai platform kerja sama pendanaan terintegrasi melalui skema blended finance dalam SDG Indonesia one, serta Kementerian Keuangan juga ikut aktif di dalam Green Climate Fund (GCF) di mana Indonesia akan mengajukan berbagai proyek dan program penurunan CO2.
"Pembiayaan inovatif dalam bentuk issuance atau penerbitan surat berharga yang Green juga merupakan salah satu ciri Indonesia. Indonesia adalah emerging country pertama yang menerbitkan Green Sukuk. Ini juga membangun reputasi Indonesia sebagai negara yang sangat inovatif di dalam pembiayaan," pungkas Menkeu.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News