Kurang bayar dalam konteks pajak yakni nilai atau besaran nominal uang yang harus dibayarkan oleh wajib pajak ke kas negara masih kurang ketika dihitung ulang dalam pengisian SPT.
Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Hestu Yoga Saksama mengatakan wajib pajak akan mendapatkan hasil kurang bayar apabila ada kekeliruan atau ketidaksamaan penghitungan yang mana seringkali pemotongan pajak dilakukan dalam setiap kali wajib pajak menerima penghasilan di setiap bulan.
Dibantu oleh Direktur Eksekutif CITA Yustinus Prastowo, Medcom.id akan memberikan simulasi atau contoh kasus penghitungan besaran pajak yang seringkali dianggap sebagai kurang bayar.
Namun, sebelum mengkalkulasi, penghitungan yang harus diingat yakni wajib pajak yang penghasilannya lebih dari Rp54 juta per tahun maka akan dikenakan pajak progresif (bertingkat/berlapis/layer) sesuai pasal 17 dengan ketentuan penghasilan Rp0-Rp50 juta akan kena tarif lima persen, di atas Rp50 juta-Rp250 juta kena tarif 15 persen, di atas Rp250 juta-Rp500 juta kena tarif 25 persen, dan di atas Rp500 juta kena tarif 30 persen.
Contoh pertama, seseorang berprofesi sebagai seorang artis. Orang tersebut mendapatkan proyek senilai Rp500 juta dari sebuah agen pemberi penghasilan yang juga pemotong pajak, maka penghasilannya sudah langsung dipotong oleh manajemen/agensi.
Pemotongan pajak terhadap penghasilan seorang artis menggunakan skema Pajak Penghasilan 21 dengan menggunakan tarif PPh Pasal 17 Orang Pribadi. Hal ini sebagaimana diatur dalam Per 16/PJ/2016 bahwa orang pribadi penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 termasuk di antaranya kategori 'bukan pegawai' yang meliputi profesi pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama, penari, pemahat, pelukis, dan seniman lainnya.
Perhitungan dasar pengenaan pajak atas bukan pegawai ini adalah sebesar 50 persen dari jumlah penghasilan bruto, yang kemudian dikurangi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dan dikalikan tarif PPh Pasal 17. Dalam kasus ini, artis tersebut akan dikenakan PPh sebesar:
Penghasilan Bruto = Rp500 juta
Dasar Pengenaan Pajak (50 pe x Rp500 juta) = Rp250 juta.
Tarif PPh Pasal 17:
- Layer 1 [5% x Rp50 juta (Rp0 – Rp50 juta)] = Rp2,5 juta.
- Layer 2 [15% x Rp200 juta (Rp50 juta – Rp250 juta)] = Rp30 juta.
Total PPh atas Artis yang harus dipotong oleh Agensi Pemberi Kerja Rp 32,5 juta (Rp2,5 juta + Rp30 juta).
Akan tetapi, ternyata artis tersebut tidak hanya mendapatkan satu proyek saja, melainkan memperoleh penghasilan dari 10 proyek dalam satu tahun dengan penghasilan yang sama. Artinya, skema pemotongan tersebut berlaku untuk setiap proyek.
Dalam kasus ini, apabila dalam setiap proyeknya artis tersebut memperoleh penghasilan yang sama, maka pemotongan PPh 21 adalah sebesar Rp32,5 juta dikalikan 10 proyek sehingga didapatkan total pemotongan PPh 21 dalam tahun berjalan oleh Agensi Pemberi Kerja sebesar Rp325 juta.
Kewajiban PPh atas artis tersebut belumlah selesai hanya dengan dipotong pajak oleh Agensi tersebut, melainkan artis haruslah melakukan pelaporan pajak tahunannya dengan menghitung PPh OP untuk tahun pajak tersebut dan melaporkan kekurangan/kelebihan potong pajaknya.
Pertama, untuk menghitung Pajak Penghasilan Tahunan perlu dilakukan penjumlahan keseluruhan penghasilan yang didapatkan selama tahun berjalan, meski penghasilan diperoleh dari berbagai sumber selain proyek pada agensi tersebut.
Apabila penghasilan yang diperoleh artis tersebut hanya berasal dari agensi tersebut dengan total nilai 10 proyek sama dengan Rp5 miliar, maka perhitungannya adalah sebagai berikut:
Penghasilan Netto (Penghasilan Bruto-PTKP diasumsikan artis tersebut belum menikah dan tidak memiliki tanggungan TK/0) Rp5 miliar-Rp54 juta = Rp4,946 miliar.
Tarif PPh Pasal 17:
- Layer 1 [5% x Rp50 juta (Rp0 – Rp50 juta)] = Rp2.500.000.
- Layer 2 [15% x Rp200 juta (Rp50 juta – Rp250 juta)] = Rp30.000.000.
- Layer 3 [25% x Rp250 juta (Rp250 juta – Rp500 juta)] = Rp62.500.000.
- Layer 4 [30% x Rp4,446 miliar (di atas Rp500 juta)] = Rp1.333.800.000.
Maka setelah hasil dari layer 1,2,3,4 dijumlahkan, total PPh 21 dalam tahun tersebut seharusnya adalah Rp1.428.800.000.
Sementara, Agensi Pemberi Kerja telah melakukan pemotongan PPh 21 sebesar Rp325 juta. Sehingga ada total PPh 21 Kurang Bayar sebesar Rp1.103.800.000.
Contoh kedua, apabila seorang pegawai memiliki penghasilan bruto Rp14,5 juta setiap bulan, ketika dipotong PTKP maka penghasilan kena pajaknya (PKP) menjadi Rp10 juta. PKP tersebut termasuk dalam pajak progressif golongan satu yakni dikenai tarif 5%. Dengan kata lain setiap bulan dia akan setor pajak Rp500 ribu, apabila dikalikan selama setahun (12 bulan) maka akan kena pajak Rp6 juta.
Dalam kasus ini, terjadi kesalahan penghitungan pada contoh di atas. Penghitungan PPh Orang Pribadi yang seharusnya dilakukan adalah dengan disetahunkan terlebih dahulu, yaitu:
Penghasilan Bruto disetahunkan (Rp14.500.000 x 12 bulan) = Rp174.000.000.
Penghasilan Netto (Penghasilan Bruto – PTKP diasumsikan TK/0 – biaya jabatan bagi pegawai tetap 5% dari peredaran bruto max 6 juta setahun) Rp174 juta – Rp54 juta-Rp6 juta = Rp114 juta
Tarif PPh Pasal 17:
- Layer 1 [5% x Rp50 juta (Rp0 – Rp50 juta)] = Rp2,5 juta.
- Layer 2 [15% x Rp64 juta (Rp50 juta – Rp250 juta)] = Rp9,6 juta.
Total PPh 21 terutang yang harus dibayarkan oleh pegawai tersebut adalah sebesar Rp12,1 juta yang pembayarannya dibagi ke dalam 12 bulan dan dipotong setiap bulannya oleh Pemberi Kerja. Terhadap pegawai/karyawan yang hanya memperoleh penghasilan dari satu pemberi kerja dan tidak memperoleh penghasilan lainnya tidak akan mengalami kekurangan bayar pajak karena pembayaran pajaknya sudah dipotong oleh perusahaan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id