Hal ini berdasarkan perkiraan yang dibuat oleh The Economist mengenai dampak pengetatan kebijakan moneter di AS terhadap negara-negara berkembang lainnya. Hasilnya, Indonesia berada di urutan 15 di antara negara berkembang lain yang paling rentan.
"Indonesia relatif memiliki kemampuan yang relatif lebih resilient, namun ini tidak berarti kita akan kehilangan kewaspadaan karena situasi akan sangat volatile," kata dia dalam video conference, Selasa, 21 Desember 2021.
Saat ini rencana tapering off oleh The Fed dipercepat dengan pengurangan pembelian surat utang dari USD15 miliar per bulan menjadi USD30 miliar. Selain itu, kemungkinan kenaikan suku bunga bank sentral AS akan dilakukan tiga kali selama 2022.
"Dengan demikian hal tersebut pasti akan menimbulkan dampak terhadap capital flow. Berbagai negara yang banyak merah (rentan), menggambarkan faktor yang mulai diturunkan ke negara berkembang," ungkapnya.
Dibandingkan negara lain, Indonesia memang dalam kondisi aman dari dampak tapering di AS. Pasalnya Argentina, Mesir, Pakistan, Sri Lanka, Brasil, serta negara berkembang G20 lainnya justru berada dalam kondisi yang rentan terhadap perkembangan di AS.
"Turki juga ada dalam situasi yang vulnerable dari sisi utang luar negeri, demikian negara lain. Ini semua harus kita waspadai negara sekitar kita. Malaysia juga menunjukan beberapa vulnerabilitas, jadi kita harus tingkatkan kewaspadaan faktor non-covid ini," pungkas dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News