"Kebijakan politik pemerintah belum menjadikan kemenkes sebagai prioritas, dari anggaran infrastruktur menjadi yang tertinggi, diikuti dengan kemenhan. Memang ada keinginan menjalankan penanganan covid dan pemulihan ekonomi secara bersamaan, tapi ada kendala-kendala di dalamnya," ujar dia webinar bertema Ekonomi Politik APBN, Utang dan Pembiayaan Pandemi Covid-19, dilansir MediaIndonesia.com, Minggu, 1 Agustus 2021.
Andy yang juga Ketua Umum Forum Dekan Ilmu-Ilmu Sosial PTN se-Indonesia itu bilang, pengambil kebijakan masih berpolitik dalam menentukan anggaran.
Mestinya, politik anggaran penanganan covid-19 yang menjadi utama. Menjadikan bidang kesehatan sebagai prioritas, imbuh Andy, dapat dilakukan dengan melakukan refocussing, realokasi anggaran, dan melakukan rasionalisasi belanja.
Pemerintah mesti meningkatkan belanja di sektor kesehatan dan ekonomi masyarakat yang paling terdampak pandemi. Hal itu dinilai belum tergambar dari kebijakan pemerintah. Sebab, anggaran tertinggi di masa krisis justru dialokasikan pada infrastruktur dan pertahanan yang tercermin dari alokasi anggaran di Kementerian PUPR, Kementerian Pertahanan dan Polri.
"Tata kelola APBN masih lemah dan reformasi birokrasi masih berjalan di tempat," ujar Andy.
Di kesempatan yang sama Rektor Universitas Trilogi sekaligus Guru Besar Ilmu Ekonomi FEB UGM Mudrajad Kuncoro mengatakan, kerangka kebijakan fiskal yang disusun pemerintah sedianya tak bermasalah. Hanya, ada empat persoalan mendasar yang harus diperhatikan pemerintah.
"Memang problem terbesar ada di empat hal, bagaimana rasio utang, defisit, keseimbangan primer dan tax ratio," tuturnya.
Dia bilang, dalam masa krisis, instrumen fiskal negara memang menjadi andalan untuk melawan pelemahan ekonomi. Hal tersebut, kata Mudrajad, telah diupayakan pemerintah, tapi tak berbuah manis karena implementasinya belum optimal.
"Peranan APBN pada perekonomian, dari postur atau size, belanja APBN itu terbesar dalam sejarah, tapi kalau peranannya dalam PDB, belum menjadi prime mover, jadi dampak pada covid dan kesejahteraan belum besar, memang sampai triwulan I 2021 hanya 6,70 persen terhadap PDB, jauh di bawah konsumsi dan investasi," jelas dia.
"Dari pertumbuhannya, harapan untuk menjadi prime mover tidak terjadi, karena hanya tumbuh 2,96 persen, jadi relatif tidak banyak dampaknya bagi perekonomian nasional," pungkas Mudrajad.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News