Sejumlah peristiwa tersebut membuat ekonomi global dalam ketidakpastian. Pelbagai peristiwa itu memberi tekanan terhadap ekonomi di masing-masing negara, termasuk di negara emerging market yang salah satunya Indonesia. Bahkan, kenaikan suku bunga yang selalu ditunda oleh Federal Reserve atau the Fed sebelumnya juga turut memengaruhi ketidakpastian ekonomi global.
Tidak bisa ditolak, ekonomi Amerika Serikat (AS) memang berpengaruh cukup siginfikan terhadap bandul gerak ekonomi dunia. Karenanya, keputusan suku bunga naik atau turun oleh the Fed sangat berpengaruh pada bagaimana para pengambil keputusan di negara-negara dunia menggerakkan kemudi perekonomian. Ada kehati-hatian agar ekonomi tidak masuk ke stagnasi.
Sejak awal tahun hingga berakhirnya 2016 ini, negara-negara di dunia masih waswas dengan perlambatan ekonomi global. Karena perlambatan itu berdampak pada masing-masing negara. Apalagi Produk Domestik Bruto (PDB) dunia pada 2016 diprediksi hanya tumbuh 2,4 persen di 2016 karena aktivitas ekonomi dunia masih lemah.
Rencana the Fed yang mempertimbangkan menaikkan suku bunga atau tidak sebelum pertemuan Desember telah menyumbang kekhawatiran terhadap gerak ekonomi dunia. Imbasnya, nilai tukar dolar Amerika Serikat (USD) terus menguat terhadap sejumlah mata uang utama di dunia, termasuk menekan rupiah.
Ada beberapa indikator bagi the Fed menaikkan suku bunga acuan, yakni kuatnya data pasar tenaga kerja, meningkatnya belanja konsumen, pertumbuhan ekonomi AS, dan pergerakan inflasi yang ditargetkan berada di angka dua persen. Ini menjadi alasan bagi the Fed menaikkan suku bunga acuan atau menundanya.
Sepanjang 2016, sebelum pertemuan Desember, beberapa indikator ekonomi itu terus mengalami volatilitas dan belum bergerak sesuai harapan the Fed. Kondisi itu yang membuat the Fed terus menunda kenaikan suku bunga acuan. Efeknya, selain nilai tukar mata uang dunia tertekan USD, ekonomi dunia ikut melambat.
Kinerja perdagangan menjadi tidak optimal lantaran permintaan melemah. Tiongkok yang menjadi salah satu mitra dagang besar bagi AS juga terpukul. Pelemahan ekonomi Tiongkok yang diperkirakan hanya tumbuh single digit di 2016 memberi efek domino bagi negara-negara lain di kawasan Asia.
Permintaan yang terus melemah sejalan dengan belum adanya perbaikan signifikan harga komoditas. Hal ini diperparah oleh harga minyak dunia yang terus berada di level rendah, USD50 per barel. Penerapan suku bunga negatif oleh bank sentral di dunia belum membuahkan hasil untuk keluar dari stagnasi.
Indonesia menjadi salah satu negara yang terimbas ketidakpastian ekonomi global. Bank Indonesia (BI) menilai ada tiga hal yang perlu diwaspadai dari situasi dan kondisi ekonomi dunia saat ini. Salah satunya adalah kondisi pertumbuhan ekonomi dunia yang diperkirakan masih akan melambat.
"Ada tiga hal yang harus kita perhatikan di kondisi dunia. Pertama tentang pertumbuhan ekonomi dunia yang masih melemah," ujar Gubernur BI Agus Martowardojo, beberapa waktu yang lalu.
Kedua, lanjut Agus, kondisi ekonomi Tiongkok perlu diwaspadai oleh Pemerintah Indonesia. Apalagi, kondisi perlambatan ekonomi Tiongkok untuk tahun ini masih melanjutkan perlambatan ekonomi sejak 2015 lalu.
"Kondisi Tiongkok yang masih ada ketidakpastian, yang pasti ekonomi Tiongkok yang tadinya di atas 10 persen tahun lalu ada di 6,9 persen dan sekarang ini diperkirakan akan 6,3 persen. Dengan perubahan ekonomi Tiongkok akan ada periode rebalancing yang harus kita amati," jelas Agus.
Ketiga, harga minyak dunia terus menurun perlu terus diwaspadai. Apalagi, harga minyak pernah menyentuh level USD26 per barel, meski ada harapan stok minyak Amerika Serikat mengalami peningkatan.
"Jadi harga minyak masih akan tertekan. Ini perlu kita waspadai karena negara-negara di dunia mengatakan bahwa stabilitas sistem keuangan dan makroekonomi di dunia masih perlu diwaspadai," tegas Agus.
Tidak dipungkiri, harga minyak dunia, harga emas dunia, pergerakan sejumlah bursa saham di dunia, dan pergerakan USD mengalami tekanan akibat the Fed terus menunda kenaikan suku bunga sebelum pertemuan Desember. Bahkan, pilpres AS juga turut memengaruhi irama negatif ekonomi dunia.
Pada pertemuan November, the Fed kembali memutuskan untuk tidak menaikkan suku bunga acuan lantaran masih melihat bagaimana kebijakan yang akan diambil oleh Donald Trump, yang memberikan kejutan besar sebagai pemenang dalam Pilpres AS dan mengalahkan Hillary Clinton.
Di luar suku bunga acuan, kemenangan Trump, yang mengejutkan banyak pihak, sedikit banyak memunculkan kekhawatiran. Pasalnya, Trump melontarkan sejumlah kebijakan yang kontraproduktif. Misalnya, memangkas pajak, menggenjot belanja infrastruktur, hingga kebijakan mengejutkan seperti mengambil langkah mundur dari kerja sama perdagangan.
"Agenda saya akan didasarkan pada prisip sederhana yakni mendahulukan Amerika Serikat. Dalam perdagangan, saya akan merilis pemberitahuan niat kami untuk mundur dari TPP (Trans Pacific Partnership), perjanjian yang berpotensi membahayakan negara kami," ujar Presiden AS terpilih Donald Trump, yang akan menjabat Presiden pada 20 Januari 2017.
Sementara itu, anggota Dewan Gubernur Bank of Japan (BoJ) Takako Masai mengatakan, ada ketidakpastian tentang kebijakan ekonomi yang akan diberlakukan oleh Donald Trump. Perlu ada sejumlah langkah antisipasi yang dilakukan sedari dini.
Dia menambahkan ketidakpastian tentang ekonomi luar negeri bisa memberi tekanan bagi perekonomian Jepang. Tekanan ini perlu diantisipasi agar tidak memberi efek negatif bagi laju ekonomi Jepang. Apalagi, Jepang terus mendorong perekonomian agar bisa tumbuh berkualitas.
"Saya sangat khawatir tentang perubahan mendadak di pasar keuangan mengingat latar belakang meningkatnya ketidakpastian tentang ekonomi global. Hal ini penting bagi BoJ untuk mengelola kebijakannya sehingga tidak menjadi sumber yang bermasalah," kata Masai.
DBS Group Research David Carbon menjelaskan, melambatnya pertumbuhan ekonomi dunia lantaran banyak yang tidak menyadari bahwa pertumbuhan populasi pekerja telah menurun. Kondisi semacam ini juga merupakan salah satu dampak dari pelemahan ekonomi dunia, yang terimbas dari suku bunga acuan AS.
"Dan jawabannya mudah. Sama halnya dengan bank sentral, mereka juga tidak sadar potensi pertumbuhan telah menurun dan kemampuan dari kebijakan moneter juga mulai terbatas," kata David, seperti dikutip dari hasil risetnya, di Jakarta.
Saat ini, dunia berupaya keras untuk mencari tahu alasan melambatnya pertumbuhan ekonomi global. Walaupun tingkat suku bunga sudah negatif, BoJ dan Bank Sentral Eropa atau European Central Bank (ECB) terus mencari cara untuk melonggarkan kebijakan moneter mereka. Hal itu juga dilakukan oleh bank sentral Amerika Serikat, the Fed.
"Dan untuk pertanyaan terakhir, sepertinya kita harus mulai terbiasa dengan 'lambatnya' pertumbuhan ekonomi dunia," tutur David.
Akibat Fed Fund Rate sebelum pertemuan Desember terus ditunda, BoJ beberapa kali menahan kebijakan pelonggaran dengan menerapkan tingkat suku bunga negatif hingga akhirnya memutuskan untuk mengubah kerangka kebijakan baru, yakni dengan membeli aset secara besar-besaran. Harapannya bisa mencapai target inflasi dua persen dan keluar dari stagnasi.
ECB menurunkan suku bunga acuan sebagai upaya mendukung perekonomian zona euro yang rapuh. Operasi tingkat suku bunga untuk refinancing turun 10 basis poin menjadi 0,05 persen. Selain itu, ECB akan membeli portofolio efek besar atau aset sekuritas beragun, dan obligasi terbatas dalam denominasi euro.
Untungnya, di ujung tahun, the Fed mulai menawarkan kepastian terhadap laju perekonomian dunia. Kepastian yang ditawarkan berkaitan dengan keputusan the Fed yang menaikkan tingkat suku bunga acuan pada pertemuan Desember. The Fed menaikkan tingkat suku bunga acuan dan mengisyaratkan kecepatan yang lebih cepat dari kenaikan suku bunga acuan pada 2017. Kondisi itu menyesuaikan janji-janji yang masuk dari kebijakan presiden Donald Trump.
Kenaikan tingkat suku bunga acuan di kisaran antara 0,50 persen dan 0,75 persen secara luas telah dilakukan. Namun, prospek pengetatan kebijakan moneter telah berkontribusi terhadap aksi jual beli oleh para investor dalam jangka pendek pada Treasury AS dan saham.
Saat suku bunga AS naik, pada akhir perdagangan New York, euro mengalami kejatuhan ke posisi USD1,0578 dari sebelumnya sebesar USD1,0619, dan pound Inggris turun menjadi sebesar USD1,2616 dari sebelumnya sebesar USD1,2668. Sedangkan dolar Australia turun menjadi USD0,7451 dari USD0,7495.
Pernyataan the Fed yang akan menaikkan suku bunga acuan tiga kali pada 2017 diiringi kebijakan Trump yang siap diimplementasikan kembali memberikan efek buruk baik bagi ekonomi dunia. Kendati demikian, sejumlah negara dinilai sudah siap dengan perubahan tersebut dengan melakukan sejumlah antisipasi.
Usai suku bunga AS naik, Dana Moneter Internasional atau International Monetary Fund (IMF) menyatakan bahwa ekonomi dunia siap menghadapi perubahan kebijakan Amerika Serikat (AS). IMF memperingatkan kemungkinan meningkatnya proteksionisme menyusul fluktuasi nilai tukar akibat perubahan.
"Pemilihan (Presiden AS) menandai pergeseran dalam rezim kebijakan AS dengan potensi dampak masa depan yang lebih besar pada harga dan aktivitas di luar negeri serta di Amerika Serikat," kata Kepala Ekonom IMF Maurice Obstfeld.
Setelah pemilu AS, suku bunga jangka panjang AS, USD dan ukuran-ukuran ekspektasi inflasi jangka panjang berbasis pasar semua naik tajam, karena harapan bahwa pemerintahan baru akan memotong pajak secara substansial dan meningkatkan pengeluaran pemerintah.
Meskipun masih dini untuk mengetahui bagaimana kebijakan fiskal AS akan berubah, satu hal tampak jelas bahwa itu akan berubah lebih ekspansif melalui beberapa kombinasi pengeluaran lebih besar dan tarif pajak yang lebih rendah. Mengingat tingkat pengangguran AS rendah dan ada sedikit pengenduran dalam perekonomian, kebijakan ekspansif mungkin mendorong tekanan inflasi naik. Pada gilirannya ini dapat mendorong peningkatan lebih cepat suku bunga AS.
Peningkatan suku bunga yang lebih cepat dan insentif pajak bagi perusahaan-perusahaan AS untuk memulangkan keuntungan mereka yang disimpan di luar negeri bisa mendongkrak dolar. Sementara apresiasi dolar lebih lanjut dapat menyebabkan pelebaran defisit transaksi berjalan AS.
Obstfeld memperingatkan tantangan internasional ke depan bahwa negara-negara berkembang dengan utang dalam mata uang dolar yang kuat bisa mengakibatkan berkurangnya likuiditas atau memburuknya neraca karena meningkatnya suku bunga dan depresiasi mata uang domestik.
Sementara itu, BI menegaskan bahwa rencana the Fed yang akan menaikkan suku bunga acuan tiga kali di tahun depan tak perlu dirisaukan. Hal ini karena fundamental ekonomi Indonesia, seperti inflasi, bergerak terkendali dan kinerja ekspor Indonesia berjalan cukup baik.
Sedangkan ekonomi Tiongkok diperkirakan akan membaik dan mampu berkontribusi terhadap perbaikan ekonomi dunia. Di sisi lain, keputusan Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC) untuk memangkas produksi minyak dan diberlakukan di awal 2017 juga akan memberi efek positif. Langkah ini diprediksi mampu menekan efek kenaikan suku bunga.
Bahkan, perekonomian Inggris yang berada di jalur positif dan tidak tertekan oleh Brexit juga membawa angin segar bagi ekonomi dunia. Yunani yang mulai mendapat secercah harapan dari dana bail out dan ekonomi Italia yang mulai positif usai Monte dei Paschi diperkirakan bisa terselamatkan. Itu semua diperkirakan akan memberi angin segar dan lebih baik di 2017.
Efek kenaikan suku bunga acuan diprediksi bisa mengalir ke arah positif lantaran sejumlah ekonomi negara-negara di dunia mulai pulih. Dalam sebuah laporan terbaru dari Bank Pembangunan Asia atau Asia Development Bank (ADB) dikemukakan pertumbuhan 2017 di Asia tetap tidak berubah: 5,7 persen.
Perkiraan ADB untuk ekonomi Tiongkok di 2017 dipertahankan pada 6,4 persen. Ekspansi Jepang akan didukung oleh ekspor yang kuat, meskipun mata uang lokal lebih kuat. ADB telah menurunkan perkiraan di Asia Selatan dari 6,9 persen menjadi 6,6 persen pada 2016. Namun demikian, ADB memprediksi pertumbuhan Asia Selatan akan bangkit kembali pada 2017.
Di Asia Tenggara, pertumbuhan diperkirakan tetap tidak berubah di 4,5 persen pada 2016 dan 4,6 persen pada 2017. Malaysia dan Filipina diperkirakan tumbuh lebih kuat karena lonjakan konsumsi domestik serta investasi publik dan swasta. Pertumbuhan rendah diperkirakan terjadi di Brunei, Myanmar, dan Singapura.
Prospek dari ADB di Asia Tengah dipertahankan di 1,5 persen pada 2016 dan 2,6 persen pada 2017, karena resesi yang sedang berlangsung di Rusia dan harga komoditas global rendah untuk minyak dan gas alam terus meredam pertumbuhan subregional tersebut. ADB memprediksi Pasifik tumbuh 2,7 persen pada 2016, dan meningkat 3,3 persen pada 2017.
Kenaikan suku bunga Fed memberikan lampu hijau JPMorgan Chase, Bank of America dan bank-bank besar lainnya untuk mengenakan biaya pinjaman lebih besar kepada perusahaan dan individu. Ini akan memengaruhi transaksi tak terhitung dari pembelian mobil dan perumahan hingga investasi modal usaha.
Bank juga akan melihat kenaikan suku bunga Fed sebagai sebuah dorongan untuk prospek ekonomi dan lampu hijau untuk meningkatkan tingkat pinjaman. Para analis mengatakan bank-bank bisa menerima manfaat tambahan dari kenaikan suku bunga jika mempercepat upaya menjamin pembiayaan utang.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News