"Produksi dalam negeri sebesar 1,2 juta metrik ton dan kebutuhannya hanya 800-900 ribu metrik ton. Dulu kita bisa ekspor karena kelebihan pasokan. Tapi sejak konversi dilakukan, kebutuhan elpiji meningkat tajam dan produksi gas tidak bertambah, tetap 1,2 juta metrik ton. Ini yang membuat kita mesti impor," ujar Gigih Wahyu Hari Irianto, Vice President Domestik Gas Elpiji Pertamina, di acara press conference di kantor Pertamina, Jakarta, Senin (21/4/2014).
Kebutuhan elpiji pada 2014 sebesar 5,7 juta metrik ton yang terdiri dari 4,8-4,9 juta metrik ton untuk elpiji bersubsidi (3 kg) dan 1-1,2 juta metrik ton merupakan nonsubsidi (12 kg dan 50 kg). "Karenanya di tahun ini, 59% dari total kebutuhan kami cukupi dari impor. Sisanya kami dapatkan dari kilang Pertamina kayak kilang LNG di Bontang, Kalimantan, dan kilang swasta," terangnya.
Impor elpiji tahun ini mengalami kenaikan dibandingkan tahun lalu yang hanya sebanyak 3,3 juta metrik ton. Hal ini menyebabkan kerugian Pertamina meningkat. "Impor sangat memakan cost atau beban biaya. Mau tidak mau harga elpiji khusus yang nonsubsidi harus disesuaikan berdasarkan keekonomian sehingga kita tidak mengalami kerugian," tuturnya
Sebelumnya, Pertamina berencana menaikkan harga elpiji nonsubsidi 12 kg secara bertahap hingga 2016 untuk mengurangi kerugian. Kenaikan harga dilakukan sebanyak dua kali dalam setahun sebesar Rp1.500 per semester hingga mencapai harga keekonomian.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News