Menurut Misbakhun, kecenderungan pemerintah dalam RPJMN setuju terhadap sebuah kebijakan simplifikasi tarif cukai, seakan-akan tidak melihat sebuah kepentingan. Bahkan ia belum melihat adanya upaya terintegrasi di RPJMN 2020-2024.
"Di RPJMN ini, saya tidak menemukan sama sekali bahwa penerimaan cukai adalah salah satu tulang punggung penerimaan negara," kata Misbakhun dalam keterangan resminya, Jumat, 4 Februari 2022.
Ia juga mempertanyakan kenapa kemudian prevalensi merokok remaja dan sebagainya menjadi acuan. Padahal menurut berbagai kajian resmi, tugas pemerintah dengan persentase yang ada pada 2019 sudah semakin melandai.
Dalam RPJMN 2020-2024 terdapat beberapa kebijakan yang restriktif terhadap kelangsungan industri hasil tembakau (IHT). Misalnya reformasi kebijakan cukai melalui penyederhanaan struktur tarif dan peningkatan cukai hasil tembakau.
Selain itu ada pelarangan total iklan dan promosi rokok, memperbesar pencantuman peringatan bergambar bahaya merokok, dan revisi PP 109 tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan.
"Simplifikasi hanya menguntungkan kelompok industri besar. Bagaimana kemudian kita tidak pernah punya roadmap industri-industri rumahan yang menghasilkan dampak ekonomi, kalau kita membicarakan gini rasio dan sebagainya," ungkapnya.
Ia menambahkan, tembakau menghasilkan potensi ekonomi yang sangat besar. Tidak hanya menimbulkan dampak pada penerimaan negara tapi juga menghidupkan perekonomian di tingkat petani maupun industri-industri kecil di masyarakat.
Ia juga tidak pernah menyangkal bahwa ada isu mengenai kesehatan. Tetapi, sambung Misbakhun, rokok bukan satu-satunya permasalahan di dalam dunia kesehatan sebagai penyebab tingkat kematian, kemiskinan, dan sebagainya.
"Seharusnya RPJMN membicarakan bagaimana tembakau itu menjadi produk pertanian strategis, membicarakan bagaimana penerimaan cukai itu menopang sekitar Rp200 triliun, dan memberikan dukungan yang sangat kuat terhadap penerimaan negara kita," jelas dia.
Misbakhun berharap RPJMN ini bisa diubah. Pasalnya, RPJMN ini selalu dijadikan sebagai titik tumpu setiap Menteri Keuangan berdiskusi dengan Komisi XI maupun Badan Anggaran DPR soal kenaikan tarif cukai.
"Saya mengharapkan ada upaya-upaya yang lebih objektif dan komprehensif melihat situasi pertembakauan kita. Karena Menteri Keuangan selalu berbicara berdasarkan RPJMN yang disusun ini," pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News