Ilustrasi emisi karbon terbesar berasal dari pembangkit batu bara - - Foto: dok Kemenkeu
Ilustrasi emisi karbon terbesar berasal dari pembangkit batu bara - - Foto: dok Kemenkeu

Pajak Karbon Jadi Instrumen Penting Tekan Emisi

Insi Nantika Jelita • 31 Maret 2022 16:48
Jakarta: Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani menekankan pentingnya pajak karbon dalam mengejar target pengurangan emisi 29 persen di 2030 dan net zero emission di 2060.
 
Pasalnya, dalam mewujudkan penurunan emisi, dibutuhkan biaya yang fantastis, yakni estimasi dana sekitar USD247 miliar atau setara Rp3.461 triliun.
 
"Artinya setiap tahun kita butuh Rp266 triliun anggaran biaya untuk bisa deliver determinasi kita dalam mengurangi karbon sesuai target," kata  Sri Mulyani dalam PPATK 3rd Legal Forum, Kamis, 31 Maret 2022.


Menkeu membeberkan anggaran dari pemerintah untuk membiayai pendanaan pengurangan emisi hanya 60 persen, baik dari kantong APBN, BUMN dan APBD. Sisanya 40 persen berasal dari private sector atau pihak swasta.
 
"Peranan private sector tidak mungkin jalan tanpa ada mekanisme pasar, di sini lah kenapa instrumen carbon price menjadi sangat penting, pajak karbon pun menjadi salah satu instrumen," jelasnya.
 
Lewat Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), pajak karbon sudah diperkenalkan mekanismenya dan siap diimplementasi pada Juni atau Juli tahun ini.
 
Penerapan pajak karbon dalam negeri dipatok dengan tarif sebesar Rp30 per kilogram karbondioksida ekuivalen (CO2e) pada jumlah emisi yang melebihi cap yang ditetapkan.
 
"Determinasi Indonesia soal climate change tidak mungkin hanya dilakukan pemerintah sendiri, harus ada partisipasi swasta, baik nasional maupun global," tegasnya.
 
Namun, masalah soal pajak karbon bakal menjadi tantangan kedepan bila berbagai negara menerapkan tarif yang berbeda. 
Srimul mencontohkan bisa saja negara lain memasang tarif pajak karbon sebesar USD3 per ton CO2e, lalu USD25 hingga USD45 per ton CO2e. Hal tersebut bisa menimbulkan masalah baru.
 
"Kalau ada barangnya sama, tapi dijual dengan harga berbeda, maka kemungkinan ada kebocoran. Jadi desain market for carbon ini cukup rumit," pungkasnya. 

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(Des)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan