Ilustrasi. Foto: dok MI.
Ilustrasi. Foto: dok MI.

OJK: Ekonomi RI Dijegal Inflasi, Resesi, hingga Konflik Geopolitik

Fetry Wuryasti • 19 Desember 2022 16:16
Jakarta: Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mahendra Siregar mengatakan selama dua tahun mendatang akan ada persoalan perekonomian dunia, yang nampaknya tidak bisa dihindari, yaitu inflasi.
 
Sebab perekonomian global sudah terlalu lama dibanjiri oleh dana dalam jumlah sangat besar dengan biaya yang murah, untuk menghadapi kelesuan ekonomi akibat pandemi bahkan sebelumnya yang sudah melemah di ekonomi negara-negara maju.
 
"Akibatnya jumlah dana yang begitu besar dan begitu murah menyebabkan inflasi yang luar biasa. Kemudian ditambah kemelut geopolitik yang menyebabkan persoalan dalam rantai pasok produksi, maupun juga sistem logistik, dan pada gilirannya membatasi pasokan," kata Mahendra dalam Kuliah Umum di Universitas Hasanuddin mengenai Sosialisasi dan Edukasi Perlindungan Konsumen, Senin, 19 Desember 2022.

Sehingga muncul inflasi yang tidak pernah terjadi di negara-negara maju, bahkan untuk di Eropa sampai dua digit atau di atas 10 persen. Inflasi Indonesia di atas 10 persen terjadi terakhir kali pada 15 tahun lalu, dan hanya sekali, akibat persoalan dengan neraca perdagangan.
 
Di Eropa, terakhir kali terjadi inflasi dua digit di awal 1980-an. Kini Eropa kembali masuk tingkat inflasi 11 persen, setelah 45 tahun tidak pernah. Sehingga kemudian dibuat tingkat bunga yang sangat tinggi oleh bank sentral.
 
Akibat tingkat bunga tinggi, maka uang kemudian menjadi sulit baik untuk transaksi maupun untuk melakukan bisnis, investasi dan kegiatan ekonomi. Sehingga yang sebelumnya kelebihan dana dan aktivitas ekonomi bergulir lebih cepat, kini ekonomi Eropa langsung turun drastis.
 
Ini yang kemungkinan akan mendorong perekonomian di negara-negara itu menuju resesi. Sekarang beberapa negara Eropa seperti Inggris, Prancis, Belgia, dan Italia sudah masuk resesi. Sedangkan beberapa negara lagi terpantau akan menuju ke sana.
 
Apabila resesi yang terjadi sangat dalam, maka akan menjadi persoalan bukan hanya masalah ekonomi, tapi sosial-politik dan keberlanjutan stabilitas di sana. Di sisi lain, inflasi Eropa masih sangat tinggi dan belum turun.
 
Inggris kemarin mencatatkan inflasi masih hampir 10 persen. Amerika Serikat (AS), yang tidak separah Eropa, inflasinya sudah bisa turun tapi masih di level tujuh persen, tertinggi selama 50 tahun.
 
Artinya pada 2023 ada dua tantangan ekonomi makro, yaitu menghadapi inflasi, sehingga harus meningkatkan tingkat bunga untuk menurunkan inflasi. Kedua, menghadapi resesi yaitu menurunkan tingkat bunga sehingga ekonomi bergerak.
 
"Tahun 2023 ini dua hal itu terjadi sekaligus, yaitu inflasinya tinggi, resesinya berat. Jadi mau apabila mau menaikkan tingkat bunga malah akan makin resesi, tapi tidak naikkan tingkat bunga inflasinya naik terus. Ini suatu dilema yang luar biasa," kata Mahendra.
 
Sebenarnya instrumen yang ada yang dimiliki oleh bank sentral semua negara, itu tidak sampai kepada kemungkinan untuk mengatasi hal ini. Sebab tugas utama bank sentral adalah menghadapi inflasi, bukan menanggulangi kelesuan ekonomi.
 
Sehingga bila bank sentral memakai 'obat' penanggulangan inflasi, maka dampak kepada pertumbuhan ekonomi bisa dikatakan di luar kompetensinya.
 
Tugas bank sentral di seluruh dunia yaitu pada penanggulangan stabilitas harga. Tetapi kalau sudah harga demikian tinggi dan ekonomi di bawah, ini menjadi dilema, yang memang tidak mungkin hanya bank sentral yang bisa mengatasi. Pemerintah harus masuk mendorong perekonomian tumbuh, dan bank sentral menjaga mengendalikan inflasi.
 
"Tapi ini tidak ada. Terjadi kevakuman dalam kebijakan negara-negara maju baik Amerika, Eropa, Jepang maupun Korea. Mereka selalu menggunakan hanya instrumen moneter dan pengendali inflasi," kata Mahendra.
 
Tidak ada instrumen di negara maju untuk memberi stimulus ekonomi riil. Sebab pemerintah mereka tidak dalam kapasitas untuk melakukan itu, akibat defisit anggaran belanja dan utang publik yang sangat besar.
 
Sehingga tidak ada ruang bagi mereka untuk memberi stimulus ekonomi, karena sudah begitu besar dampak dari pandemi covid-19 yang menyebabkan defisit dan utang yang berlipat ganda dalam kisaran waktu dua tahun.
 
"Kalau kedua faktor itu sudah berat yaitu inflasi dan mengatasi resesi, ditambah lagi dengan faktor ketiga yaitu geopolitik," kata Mahendra.
 
Baca juga: Wamendag Tekankan Pentingnya Integrasi Ekonomi dan Perdagangan di Keketuaan ASEAN

 
Konflik geopolitik
 
Geopolitik yang semula hanya persaingan antara negara-negara utama, sudah bergeser menjadi di Eropa ada perang sesungguhnya, dan di tempat lain tingkat persaingan geopolitik semakin berat. Sehingga juga mempengaruhi sistem dan rantai pasok antara Amerika dengan Tiongkok sekarang sudah ada keinginan untuk memisahkan diri dari satu rantai pasok yang sama.
 
Padahal untuk ekonomi dunia yang sejahtera, masing-masing negara melakukan produksinya berdasarkan keunggulan komparatif. Tapi sekarang secara sengaja dua negara besar ini mengatakan tidak akan lakukan keunggulan komparatif untuk perdagangan internasional, karena kepentingan strategis dua negara itu akan teknologi tinggi tidak memungkinkan hal itu terjadi. Sehingga Amerika dan Tiongkok akan memisahkan rantai pasok dari satu dengan yang lainnya.
 
"Jadi ini sama sekali tidak optimum dalam pendekatan teori ekonomi, dan menambahkan beban kepada perekonomian global yang sudah kena dengan stagflasi tadi itu di tingkat negara-negara maju, dengan risiko yang disebabkan geopolitik yang makin berat," kata Mahendra.
 
Geopolitik ini akan berlangsung lama dan menjadi risiko berdasarkan pernyataan para analis geopolitik. Persoalan persaingan tidak akan selesai di antara dua negara besar ini setidaknya dalam 10 tahun ke depan.
 
Maka untuk Indonesia, para analis dalam negeri, internasional dan lembaga-lembaga multilateral mengatakan Indonesia dan Asia Tenggara akan tetap bisa tumbuh baik tahun depan dan tahun depannya lagi di kisaran pertumbuhan ekonomi mencapai lima persen.
 
Alasan dari anomali ini adalah karena Indonesia memiliki pasar dalam negeri dan pasar kawasan yang besar. Pasar dalam negeri harus dioptimalkan aspek konsumsi, aspek investasi, dan aspek belanja pemerintahnya.
 
Dalam konteks pertumbuhan sektor riil, perekonomian domestik artinya pembangunan di daerah-daerah di Indonesia, sumber-sumber pertumbuhan di daerah.
 
Indonesia selain demografinya yang muda, keunggulan luar biasanya adalah diversifikasi dari industri, sumber pertumbuhan ekonomi, dan variasinya yang tidak ada saingannya atau sangat berbeda-beda sumber pertumbuhan ekonomi di tiap daerah.
 
"Itu membuat Indonesia jauh lebih kuat terhadap perekonomian global seperti apapun. Tapi kita tidak bisa berpuas diri dengan menyerahkan kepada kondisi yang ada sekarang. Kita harus menggerakan pertumbuhan ekonomi baru di daerah-daerah baru di kawasan yang selama ini belum terjangkau baik," kata Mahendra.
 
Peran dari lembaga termasuk dalam hal ini OJK untuk melakukan fungsi stimulus ekonomi di daerah. Fungsi OJK sebelumnya memang lebih dilihat hanya sebagai bagaimana menjaga stabilitas sistem keuangan, menjaga dan mengawasi industri dan pelaku usaha jasa keuangan dari kacamata prudensial, transparansi, disclosure, perlindungan konsumen, perilaku, ataupun market conduct.
 
"Dahulu fungsi tersebut merupakan opsi. Tetapi sekarang menjadi utama untuk daya tahan Indonesia kondisi global yang berat," kata Mahendra.
 
*Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id*
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News

Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(HUS)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan