"Sehingga capital inflow akan mengalir ke negara-negara berkembang yang relatif memberikan imbal hasil lebih atraktif," tulis LPS dalam laporan Indikator Likuiditas Februari 2021 yang dikutip Sabtu, 6 Maret 2021.
Laporan tersebut juga mengungkapkan bahwa likuiditas perbankan terpantau masih longgar dan sebagian besar ditempatkan pada Surat Berharga Negara (SBN) dan Operasi Pasar Terbuka (OPT) Bank Indonesia, di tengah laju pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) yang cukup tinggi dan masih belum pulihnya permintaan kredit.
Secara lengkap, laporan tersebut memaparkan kebijakan moneter global, pada pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) Januari 2021, memutuskan mempertahankan suku bunga acuan Fed Rate pada level 0,25 persen sampai 0,00 persen. Di sisi lain The Fed tetap mempertahankan kebijakan pembelian obligasi sebesar USD120 miliar per bulan untuk mencapai target inflasi dan penyerapan angkatan kerja.
Sebelumnya, bank sentral Eropa ECB, juga tetap mempertahankan suku bunga (0,00 persen), fasilitas pembiayaan marjinal (0,25 persen), dan fasilitas deposito (minus 0,50 persen). Selain itu, program darurat pandemi sebesar EUR1,35 triliun tetap dipertahankan.
Dalam perkiraan LPS, The Fed diproyeksi masih akan mempertahankan kebijakan akomodatif suku bunga pada level nol persen dan pembelian obligasi sampai beberapa tahun ke depan. Tambahan likuiditas akan bergantung pada hasil negosiasi paket stimulus di bawah kepemimpinan Joe Biden yang mencapai USD1,9 triliun.
"Sementara itu, ECB juga diperkirakan tetap mempertahankan kebijakan moneter untuk mencapai target inflasi mendekati dua persen. Kebijakan moneter longgar bank sentral negara-negara maju akan mendorong likuiditas mengalir ke pasar emerging market," ungkap laporan LPS tersebut.
Untuk imbal hasil (yield) sovereign bonds (10 tahun, mata uang lokal), periode Januari 2021 yield obligasi pemerintah AS terpantau naik 15 bps dibanding akhir Desember 2020 ke level 1,07 persen. Kenaikan ini didorong oleh sentimen dari dana stimulus besar yang bakal dikucurkan kembali oleh pemerintahan Joe Biden.
Pada periode yang sama yield obligasi pemerintah Indonesia juga terpantau naik 32 bps menjadi 6,21 persen dibanding akhir Desember 2020. Beberapa faktor yang mendorong naiknya yield obligasi antara lain, perpanjangan Penerapan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) mikro, kenaikan kasus positif covid-19 yang sudah menyentuh level satu juta.
"Secara kumulatif capital inflow pada pasar saham dan obligasi sepanjang Januari 2021 masing-masing mencapai sebesar Rp10,94 triliun dan Rp13,41 triliun," terang LPS.
LPS memandang bahwa yield obligasi pemerintah AS berpotensi kembali bergerak turun seiring dengan perkembangan data tenaga kerja AS yang meningkat yang menjadi sinyal pemulihan ekonomi yang kembali meningkat. Sementara itu yield obligasi pemerintah Indonesia berpotensi kembali menurun didukung ketersediaan likuiditas yang cukup longgar baik di pasar modal maupun perbankan.
Terkait sentimen pasar global, pada posisi penutupan Januari 2021 indeks Volatility Index (VIX) terpantau meningkat 45,45 persen dibanding penutupan Desember 2020 ke level 33,09. Peningkatan indeks VIX pada Januari ini merupakan yang tertinggi sejak November 2020 dipengaruhi kekhawatiran pasar akan peningkatan kasus covid-19 kendati vaksinasi sudah mulai diberikan.
Di periode yang sama, indeks Emerging Markets Bond Index (EMBI) terpantau turun minus 0,67 persen dibanding akhir bulan sebelumnya ke level 324,24. Turunnya indeks yang mencerminkan imbal obligasi pemerintah di negara-negara emerging ini sejalan dengan berlanjutnya arus inflow dan atraktifnya imbal hasil.
Menurut LPS, volatilitas indeks VIX pada Februari 2021 berpotensi mereda seiring pemberian vaksin yang diharapkan mulai berdampak pada berkurangnya laju kasus baru covid-19 dan menjadi sentimen positif pemulihan ekonomi.
"Sementara itu indeks EMBI berpotensi masih melanjutkan tren menurun didorong arus masuk investor pada pasar obligasi negara berkembang. Meskipun demikian, gelombang lanjutan dari kasus covid-19 dan aksi profit taking jangka pendek masih berpotensi menyebabkan volatilitas di pasar saham dan obligasi," pungkas LPS.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News