"Dari sudut hukum perdata, pinjol ilegal itu adalah tidak sah karena tidak memenuhi syarat objektif maupun syarat subjektif seperti diatur di dalam hukum perdata. Jadi dua syarat objektif tidak terpenuhi, dua syarat subjektifnya tidak terpenuhi," jelas Mahfud dalam keterangan resminya, dikutip Rabu, 20 Oktober 2021.
Dari sudut hukum pidana, diakui Mahfud banyak dirumuskan di dalamnya. Seperti yang sudah dilakukan Bareskrim Polri dimana ekses-ekses ikutan dari pinjaman online ilegal tersebut, didorong untuk ditingkatkan langkah-langkah tindakan hukumnya.
"Ekses pinjaman itu, yang tidak langsung terkait dengan pinjaman itu, misalnya ancaman kekerasan, ancaman-ancaman menyebar foto-foto tidak senonoh dari yang punya utang kalau tidak bayar. Itu sekarang bandar-bandarnya, pekerja-pekerjanya mulai ditindak," papar dia.
Di samping itu, Mahfud juga memungkinkan menjerat penyelenggara pinjaman online ilegal dengan menggunakan Pasal 368 Kitab Undang-Undang Hukum (KUH) Pidana terkait pemerasan. Lalu ada Pasal 335 KUH Pidana tentang perbuatan tidak menyenangkan yang juga bisa digunakan.
"Kemudian Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Kemudian Undang-Undang ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) Pasal 29 dan Pasal 32 ayat 2 dan ayat 3," bebernya.
Mahfud menekankan bahwa pemerintah tegas untuk memberantas keberadaan pinjaman online ilegal yang banyak meresahkan masyarakat. Namun bagi industri fintech peer to peer lending yang terdaftar dan berizin dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), pemerintah meminta untuk terus dikembangkan.
"Ini kami umumkan kepada masyarakat bahwa dari aspek hukum perdata kita bersikap bahwa pinjaman online (pinjol) ilegal itu ya ilegal. Tapi bisa dinyatakan tidak memenuhi syarat sehingga bisa dinyatakan batal atau dibatalkan," pungkas Mahfud.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News