Mengutip data Bloomberg, Senin, 7 Oktober 2024, rupiah hingga pukul 9.45 WIB berada di level Rp15.685 per USD. Mata uang Garuda tersebut turun sebanyak 200 poin atau setara 1,29 persen dari Rp15.485 per USD pada penutupan perdagangan hari sebelumnya.
Sementara menukil data Yahoo Finance, rupiah pada waktu yang sama berada di level Rp15.679 per USD, juga turun sebanyak 200 poin atau setara 1,29 persen dari Rp15.479 di penutupan perdagangan hari sebelumnya.
Analis pasar uang Ibrahim Assuaibi memprediksi rupiah pada awal pekan ini akan bergerak secara fluktuatif, meski demikian rupiah diprediksi akan kembali melemah.
"Untuk perdagangan Senin ini, mata uang rupiah fluktuatif namun ditutup melemah di rentang Rp15.470 per USD hingga Rp15.580 per USD," ujar Ibrahim dikutip dari analisis hariannya.
| Baca juga: Fakta dan Data Daya Beli Masyarakat Indonesia Melemah |
Deflasi jadi biang keladinya
Menurut Ibrahim, pasar terus mengamati deflasi yang terjadi selama lima bulan berturut-turut sejak Mei hingga September 2024. Hal ini memperlihatkan dengan jelas masyarakat kelas menengah (pekerja) sudah tidak punya uang lagi untuk berbelanja.
Oleh karena itu, permintaan bank sentral Indonesia agar masyarakat lebih banyak belanja untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di atas lima persen mustahil terwujud.
"Pasalnya, hampir semua sektor industri melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK), yang bakal berimbas pada anjloknya daya beli," tutur dia.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan kondisi ini terjadi, pertama, PHK. Kementerian Ketenagakerjaan mencatat sebanyak 53.993 tenaga kerja terkena PHK per 1 Oktober 2024. Ribuan orang yang di-PHK sebagian besar berasal dari sektor manufaktur.
Diprediksi sampai akhir tahun angka PHK akan melonjak lebih dari 75 ribu. Pasalnya, mulai banyak perusahaan dinyatakan pailit atau akhirnya pindah ke daerah lain yang upah minimumnya lebih kecil.
Kedua, minimnya lapangan kerja di sektor padat karya. Di tengah membludaknya PHK, pembukaan lapangan pekerjaan baru di sektor padat karya dalam lima tahun terakhir juga nyaris tidak ada.
Padahal sektor ini menjadi andalan untuk menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar sehingga diharapkan bisa melahirkan apa yang disebutnya sebagai warga kelas menengah.
Namun data BPS terakhir menunjukkan 9,48 juta warga kelas menengah Indonesia justru turun kelas dalam lima tahun terakhir, menjadi hanya 47,85 juta. Situasi tersebut tak lepas dari kebijakan pemerintah yang lebih menggenjot investasi di sektor padat modal seperti tambang ketimbang padat karya yang membuka lapangan kerja baru.
Ketiga, tingginya suku bunga. Walaupun Bank Indonesia (BI) akhirnya memangkas suku bunga acuan pada September 2024 menjadi 6,00 persen dari sebelumnya 6,25 persen, demi menjaga penguatan atau stabilitas nilai tukar rupiah.
"Namun uang yang beredar di masyarakat jadi lebih mahal dan bukan berarti bisa 'mengurangi lonjakan deflasi' di bulan-bulan mendatang. Sebab, PHK massal dan tak adanya lapangan kerja baru belum sepenuhnya teratasi. Konsekuensinya, daya beli masyarakat juga belum akan membaik," papar Ibrahim.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id