Menurut Musthofa, BPR selama ini dipandang sebelah mata. Padahal fungsi dan peran BPR tak beda jauh dengan bank umum, yakni sama-sama menjalankan fungsi intermediasi. BPR bahkan menjadi ujung tombak lembaga keuangan nasional dalam menggerakkan UMKM.
"Kami di Panja DPR siap mendukung penuh langkah-langkah ke arah itu, termasuk usulan amandemen UU Perbankan, UU BI, UU OJK, dan UU LPS," ujar Musthofa, dilansir dari Antara, Sabtu, 18 Juni 2022.
Pihaknya sangat mendukung upaya menyetarakan BPR dengan bank umum, khususnya dalam mencari pendanaan. Sebagai upaya tindak lanjut dari wacana BPR go public, pihaknya juga berjanji akan membawanya ke Panja DPR.
"Kerja DPR kan kolektif kolegial, harus melibatkan anggota yang lain, tidak bisa kerja sendirian," ujarnya.
Ketua Umum Perhimpunan Bank Perkreditan Rakyat Indonesia (Perbarindo) Joko Suyanto menyatakan, IPO menjadi dambaan bagi industri BPR, salah satunya sebagai upaya dalam meningkatkan permodalan.
Ada sejumlah keuntungan jika BPR go public, antara lain mendapatkan insentif pajak, meningkatkan nilai perusahaan, meningkatkan market awareness, menumbuhkan loyalitas karyawan, akses pada pendanan baru, dan meningkatkan Good Corporate Governance (GCG).
Selain keuntungan, lanjut Joko, adapula sejumlah tantangan yang harus diperhatikan BPR ketika akan go public, yaitu delusi dan kontrol atas kepemilikan, transparansi dan pelaporan harus dilakukan secara profesional, biaya-biaya yang terkait dengan pasar modal, market pressure, serta regulasi dan pemenuhannya.
"Itu tantangan. Regulasi dan penggunaannya, ditambah lagi apa bila sekarang sudah jelimet nanti akan makin jelimet lagi ketika kita IPO," kata Joko.
Memiliki peluang
Anggota Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Didik Madiyono menyampaikan, BPR/BPRS memiliki peluang yang bisa dieksplorasi. Antara lain, pertumbuhan permintaan atas BPR/BPRS yang mampu menyediakan produk dan layanan perbankan berbasis digital yang inovatif dan variatif, murah, aman, serta mudah diakses di mana saja dan kapan saja.Hal itu bisa menjadi peluang BPR/BPRS untuk mempercepat transformasi digitalnya. Dalam menghadapi akselerasi transformasi digital khususnya di sektor perbankan, ia menilai, ada beberapa hal yang harus diperhatikan BPR/BPRS dalam menghadapi risiko terkait keamanan data dan perlindungan konsumen yang memadai.
"Pemanfaatan teknologi serta penyediaan produk dan layanan perbankan berbasis digital sebenarnya memiliki sejumlah risiko keamanan seperti kebocoran data dan serangan siber, sehingga BPR/BPRS dituntut untuk mampu menyediakan sistem keamanan IT yang andal," ujar Didik.
Lebih lanjut, dirinya mendorong BPR/BPRS untuk go public karena akan berdampak positif pada penguatan permodalan, peningkatan efisiensi dan profitabilitas, serta memperkuat pelaksanaan tata kelola perusahaan yang baik (GCG) bagi BPR/BPRS.
"Kami tentu memotivasi BPR/BPRS untuk terus berinovasi dan bertransformasi agar dapat bertumbuh secara berkelanjutan serta selalu menjaga kinerja keuangan. LPS senantiasa hadir untuk menjaga kepercayaan masyarakat pada industri perbankan, termasuk BPR/BPRS," kata Didik.
Permodalan masih menjadi masalah utama di BPR, terlebih setelah adanya kewajiban penyediaan modal minimum dan pemenuhan modal inti minimum BPR sesuai POJK No 5/POJK.03/2015. Menurut POJK tersebut, modal inti minimum BPR ditetapkan sebesar Rp6 miliar yang wajib dipenuhi paling lambat 31 Desember 2024.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id