"Selain itu, adanya penawaran bunga tinggi, dan penggunaan tokoh agama, tokoh masyarakat serta selebriti sebagai media propaganda agar masyarakat bergabung dalam investasi tersebut turut menjadi penyebab," kata Tongam, dilansir dari Media Indonesia, Selasa, 21 Juli 2020.
Tonggam menyebut ada beberapa modus penipuan berkedok koperasi. Pertama, penawaran melalui berbagai media seperti SMS berisi link, situs, hingga aplikasi bodong yang tertaut di Play Store atau Apps Store.
Lalu, menggunakan nama 'KSP' atau 'koperasi', namun tidak memiliki pengesahan Badan Hukum dan/atau izin usaha dari kementerian yang berwenang.
Ketiga, pencatutan nama koperasi berizin dan/atau terkenal sehingga menimbulkan rasa percaya. Keempat, menyatakan 'sudah terdaftar atau diawasi', seakan-akan sudah dalam pengawasan instansi berwenang.
Kelima, menggunakan logo koperasi Indonesia atau Kementerian Koperasi dan UKM, seakan-akan benar-benar berbentuk koperasi atau berkaitan dengan kementerian. Keenam, berbadan hukum, tapi kegiatannya tidak sesuai dengan prinsip koperasi.
"Untuk itu, perlu adanya database tentang tingkat literasi dan inklusi masyarakat terhadap koperasi. Keberadaan database dimaksudkan sebagai bahan penyusunan strategi kebijakan," cetusnya.
Untuk menanggulangi investasi ilegal berkedok koperasi ini, pemerintah, kata dia telah membentuk SWI yang beranggotakan tiga belas kementerian dan lembaga. Adapun cakupan kerja SWI meliputi fungsi pencegahan, edukasi, pemantauan kegiatan investasi ilegal, dan koordinasi antar anggota) dan penanganan (penghentian aktivitas entitas investasi ilegal, publikasi melalui siaran pers, pemblokiran situs dan aplikasi, dan penyampaian laporan informasi untuk proses penegakan hukum. (MI/Hilda Julaika)
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News