Mengutip data Bloomberg, Selasa, 26 Maret 2024, rupiah hingga pukul 10.11 WIB berada di level Rp15.787 per USD. Mata uang Garuda tersebut naik 12 poin atau setara 0,08 persen dari Rp15.799 per USD pada penutupan perdagangan hari sebelumnya.
Sementara menukil data Yahoo Finance, rupiah berada di level Rp15.788 per USD, naik tipis lima poin atau setara 0,03 persen dari Rp15.793 per USD pada penutupan perdagangan hari sebelumnya.
Analis pasar uang Ibrahim Assuaibi mengatakan, kuatnya rupiah pada pagi ini disebabkan oleh langkah The Fed yang mempertahankan suku bunganya antara 5,25 persen sampai 5,5 persen dan terjebak dalam proyeksi tiga kali pemotongan pada akhir tahun.
"Namun The Fed juga menyatakan tidak akan melakukan pemotongan sampai mereka yakin inflasi akan menurun secara berkelanjutan menuju target dua persen," ujar Ibrahim dalam analisis hariannya.
Sekitar 84 basis poin pemotongan diperkirakan terjadi pada tahun ini jauh lebih rendah dibandingkan sekitar 160 basis poin pada awal tahun ini, namun lebih tinggi dari awal minggu ini seiring dengan semakin menguatnya pertaruhan penurunan suku bunga.
Baca juga: Rupiah Melemah karena Kekuatan Ekonomi AS |
Neraca perdagangan jadi sorotan
Dari dalam negeri, pasar terus mengamati surplus neraca dagang Indonesia yang terus menunjukkan tren penurunan beberapa waktu terakhir ini yang perlu mendapatkan perhatian serius dari pemerintah.
"Bahkan, jika produk-produk impor yang tak terdaftar yang masuk ke Indonesia lebih banyak ketimbang yang terdaftar," tutur Ibrahim.
Sedangkan, lanjut dia, produk-produk yang masuk ke Indonesia dari luar negeri bisa saja adalah produk ilegal berupa tekstil dan sebagainya yang sebenarnya banyak sekali masuk ke Indonesia. Pola yang seharusnya terjadi adalah jika nilai ekspor positif, maka nilai impornya juga akan positif.
"Sementara yang terjadi saat ini adalah kebalikannya, di mana nilai ekspor minus 9,4 persen, namun nilai importasinya malah meningkat," sebut dia.
Bahkan, yang menariknya lagi adalah ketika impor meningkat tajam hingga 15,8 persen dan nilai ekspor turun. Artinya, banyak barang-barang konsumsi atau produk-produk dari luar negeri yang masuk ke dalam negeri. Hal ini yang pada akhirnya akan menggerus cadangan devisa nasional.
"Walaupun pemerintah senang karena neraca dagang Indonesia masih surplus, tapi tren ekspor masih melemah dalam satu tahun terakhir. Ini yang tidak baik dan merupakan ancaman dari situasi global yang terus memanas sampai saat ini belum ada kejelasan," tegas Ibrahim.
Sebagai informasi, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan nilai ekspor Februari 2024 sebesar USD19,31 miliar, terkontraksi 9,4 persen year on year (yoy). Sementara itu, nilai impornya mencapai USD18,44 miliar, tumbuh 15,8 persen (yoy).
Sedangkan pertumbuhan surplus neraca dagang Indonesia tercatat sebesar 2,87 persen per Februari 2024, atau turun 6,41 persen ketimbang periode yang sama di tahun sebelumnya yang mencapai 9,28 persen.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News