Dia bilang, restrukturisasi maskapai pelat merah tersebut berbeda dengan restrukturisasi utang perusahaan BUMN lainnya seperti PT Perkebunan Nusantara III (Persero) atau PTPN, Krakatau Steel (KS), dan Waskita Karya.
"Ini beda sekali dibandingkan dengan restrukturisasi PTPN atau KS yang relatif bisa kita kerjakan secara nasional dan krediturnya semua ada di lokal sehingga terkontrol di dalam negeri. Kalau Garuda 70 persen krediturnya asing," ujar pria yang akrab disapa Tiko itu dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi VI DPR RI, Selasa, 9 November 2021.
Oleh karena itu, dalam merestrukturisasi Garuda, pemerintah tidak dapat melakukannya dengan sistem out of court atau melakukan negosiasi satu per satu dengan kreditur seperti BUMN lainnya. Sebab, jika tidak dilakukan dengan cepat, dalam waktu 3-6 bulan seluruh pesawat Garuda bisa diambil lessor.
"Saat ini pesawat Garuda terus di-grounded karena tidak melakukan pembayaran. Ini yang sulit dan kita harus melakukan permohonan moratorium. Masalahnya, enggak semua lessor mau moratorium. Kita berhenti bayar, langsung di-notice grounded pesawatnya, besok enggak bisa terbang lagi," paparnya.
Tiko menjelaskan, lessor berhak tidak setuju terhadap moratorium karena secara kewenangan hukum yurisdiksinya tidak hanya ada di Indonesia, tetapi juga Singapura dan London, sehingga ketentuannya bisa berbeda-beda.
Itulah mengapa pemerintah rencananya akan membuka opsi penyelesaian dengan in court atau mencari kesepakatan bersama yang mengikat secara hukum.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News