"Sehingga secara keseluruhan dari tahun lalu ada Rp473,4 triliun dan tahun ini Rp115 triliun. Ini mendukung salah satu koordinasi dengan KSSK (Komite Stabilitas Sistem Keuangan) bagaimana moneter mendukung fiskal. Tapi lebih dari itu juga mendukung stabilitas sistem keuangan karena ini menambah likuiditas," ucap Perry saat Raker bersama Komisi XI DPR dikutip Selasa, 15 Juni 2021.
Menurutnya, dengan langkah tersebut likuiditas perbankan menjadi sangat longgar. Hal ini tercermin dari rasio alat likuid atau non core deposit yang cukup tinggi sebesar 33,6 persen dan alat likuid/Dana Pihak Ketiga (DPK) 10,9 persen.
"Demikian juga likuiditas perekonomian meningkat, M1 atau uang beredar dalam arti sempit meningkat 17,4 persen dan M2 (uang beredar dalam arti luas) meningkat 11,5 persen. Jadi dari sisi stabilitas moneter itu kelihatan dari inflasinya terkendali, likuiditas juga longgar," tuturnya.
Di sisi lain ia mengungkapkan bahwa bank sentral telah menambah likuiditas atau quantitative easing (QE) ke perbankan per 8 Juni 2021 sebesar Rp93,4 triliun. Sehingga total injeksi likuiditas ke pasar uang dan perbankan sejak tahun lalu mencapai Rp819 triliun atau 5,3 persen Produk Domestik Bruto (PDB).
"Mengenai stabilitas moneter, inflasi ini terjaga. Sementara mengenai likuiditas kalau dari sisi moneter, likuiditas itu sangat longgar karena memang quantitative easing terus ditambah likuiditasnya," jelas Perry.
Adapun pembagian beban antara BI dan Pemerintah dilakukan sesuai dengan Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia I dan II pada 16 April 2020 dan 7 Juli 2020. Untuk SKB I, bank sentral diperbolehkan membeli SBN di pasar perdana melalui mekanisme pasar.
Sementara untuk SKB II, pemerintah dan BI mengambil langkah pembagian beban yang didasarkan pada kelompok penggunaan pendanaan untuk public goods/benefit dan non public goods/benefit.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News