"Penerapan manajemen risiko tersebut tidak hanya ditujukan bagi kepentingan LJKNB (Lembaga Jasa Keuangan Non Bank), tetapi juga bagi kepentingan masyarakat yang menggunakan jasa dan layanannya," ucap Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non-Bank OJK Riswinandi dikutip dari laman instagram resmi OJK @ojkindonesia, Sabtu, 20 Maret 2021.
Adapun manfaat penerapan manajemen risiko agar LJKNB dapat mengidentifikasi, mengukur, mengendalikan, dan memantau risiko yang dihadapi dalam melakukan kegiatan usahanya dengan baik. Masyarakat juga dapat memperoleh layanan jasa keuangan yang optimal dan terlindungi haknya.
Lalu, LJKNB dapat menjalankan kegiatan usaha sesuai dengan peraturan perundang-undangan serta standar, prinsip, dan praktik penyelenggaraan usaha yang sehat. Termasuk senantiasa dapat memenuhi kewajiban kepada konsumen sesuai dengan yang diperjanjikan.
Kebijakan manajemen risiko bagi LJKNB ini tertuang dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan (SEOJK) Nomor 8/SEOJK.05/2021 tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah.
Beleid ini menggantikan SEOJK Nomor 10/SEOJK.05/2016 tentang Pedoman Penerapan Manajemen Risiko dan Laporan Hasil Penilaian Sendiri Penerapan Manajemen Risiko bagi Lembaga Jasa Keuangan Non Bank.
Dalam kebijakan otoritas, penerapan manajemen risiko pada setiap perusahaan asuransi dan reasuransi (baik konvensional maupun syariah) wajib disesuaikan dengan tujuan, kebijakan usaha, ukuran, dan kompleksitas usaha perusahaan dengan mempertimbangkan perkembangan kondisi dan potensi permasalahan yang dihadapi.
"Perusahaan juga harus memiliki dan menerapkan strategi, kebijakan, serta prosedur manajemen risiko yang disusun secara tertulis dan dapat dituangkan dalam bentuk pedoman internal manajemen risiko perusahaan," ungkap OJK dalam siarannya.
Terdapat empat pilar dalam penerapan manajemen risiko. Pertama, pengawasan aktif direksi, dewan komisaris, dan dewan pengawas syariah. Kedua, kecukupan kebijakan dan prosedur manajemen risiko serta penetapan limit risiko.
Ketiga, kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pengendalian, dan pemantauan risiko, serta sistem informasi manajemen risiko. Keempat, sistem pengendalian internal yang menyeluruh.
Selain itu, ada sembilan jenis risiko yang harus diatasi melalui penerapan manajemen risiko, di antaranya risiko strategis, risiko operasional, risiko asuransi, risiko kredit, risiko pasar, risiko likuiditas, risiko hukum, risiko kepatuhan, dan risiko reputasi.
Soal substansi pengaturannya, adalah struktur organisasi komite manajemen risiko yang terdiri atas keanggotan komite manajemen risiko serta wewenang dan tanggung jawab komite manajemen risiko.
Selanjutnya, struktur organisasi fungsi manajemen risiko yang terdiri dari struktur organisasi dan independensi fungsi manajemen risiko. Terakhir, terkait dengan hubungan fungsi bisnis dan operasional dengan fungsi manajemen risiko.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News