Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengungkapkan inflasi tinggi dipastikan terjadi jika peredaran uang di masyarakat tidak diimbangi dengan pasokan produksi yang memadai. Akibatnya, harga barang melonjak dan membuat daya beli masyarakat menurun.
“Tentu dampaknya pada risiko inflasi yang tinggi,” katanya di Jakarta, Jumat, 1 Mei 2020.
Lebih lanjut sektor industri dipastikan akan mengurangi produksi karena harga barang yang tinggi. Imbasnya, industri atau perusahaan kembali menguranhi jumlah tenaga kerja atau melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK).
Dampak lainnya, lanjut dia, membuat perekonomian Indonesia merosot dan investasi di Tanah Air menjadi tidak menarik lagi. Bahkan rupiah bisa anjlok jika bank sentral mencetak uang dengan langkah yang tidak cermat.
“BI juga menghindari kondisi seperti kejadian BLBI banyak penyelewengan, kita harus banyak belajar dari pengalaman. Langkah BI saat ini sudah tepat dengan tidak mencetak uang,” imbuh dia.
Adapun kebijakan BI saat ini dengan melakukan quantitative easing atau melonggarkan kebijakan moneter untuk menambah likuiditas perbankan.
BI pun sudah menginjeksi likuiditas sebesar Rp503,8 triliun yang diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi. Kebijakan tersebut harus didukung oleh stimulus fiskal dari pemerintah karena kebijakan moneter BI tidak langsung berdampak ke sektor riil.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News