Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat tingkat penetrasi industri asuransi di Indonesia pada 2020 lalu masih tertahan di level 2,92 persen. Catatan tersebut jauh di bawah rata-rata penetrasi asuransi di negara Asia Tenggara lain sebesar tujuh persen, atau juga rata-rata penetrasi di level dunia yang mencapai 7,2 persen.
"Kita juga masih kalah dengan penetrasi di Malaysia pada periode sama tercatat sebesar 4,72 persen, juga Thailand sebesar 4,99 persen. Apalagi kalau kita compared dengan Singapura yang masyarakatnya relatif lebih maju, penetrasi asuransi di sana per 2020 lalu mencapai sembilan persen," ujar Kepala Departemen Literasi dan Inklusi Keuangan OJK, Kristianti Puji Rahayu, dalam keterangannya, Rabu 30 Juni 2021.
Dia menyatakan bahwa data masih minimnya penetrasi asuransi di Indonesia tersebut bagaikan dua sisi mata uang yang dapat dimaknai sebagai tantangan, sekaligus peluang yang harus dijawab para pelaku industri asuransi nasional.
Karenanya, Kristianti pun berharap agar seluruh pihakterkait dapat saling bersinergi, berkoordinasi dan berkolaborasi untuk bersama-sama mendorong perkembangan sekaligus penetrasi industri asuransi ke depan.
"Kalau di sepak bola, saya suka dengan Liverpool. Bukan soal kehebatan Juergen Klopp atau para pemainnya, namun lebih pada semangat yang ditularkannya, yaitu You’ll Never Walk Alone. Jangan pernah berjalan sendiri. Ini sangat pas untuk kita terapkan di kehidupan, termasuk juga di asuransi ini, bahwa bila ingin maju dan sukses, kita harus berjalan bersama-sama," tuturnya.
Ajakan untuk saling berkolaborasi ini, menurut Kristianti, sangat penting lantaran salah satu penghambat utama dari perkembangan penetrasi asuransi adalah masih rendahnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat terkait produk asuransi. Pantas saja bila kemudian OJK juga mencatat bahwa jumlah aduan masyarakat terkait masalah asuransi per Juni 2021 lalu mencapai 2.600 kasus.
Kristiani pun menyatakan bahwa untuk meminimalisasi kasus aduan di industri asuransi dan juga upaya edukasi di masyarakat tersebut tidak bisa dilakukan sendiri-sendiri dan parsial, melainkan harus dijalankan secara komprehensif oleh sebanyak-banyaknya pihak yang terlibat.
"Misal soal aduan tentang agen penjual asuransi yang saat menawarkan ke masyarakat tidak diikuti dengan penjelasan yang lengkap. Atau calon calon pemegang polis ini tidak diberi waktu yang cukup untuk membaca term of condition yang ada," tuturnya.
"Untuk kasus-kasus semacam ini kita tentu perlu komitmen dari para agen penjual dan juga perusahaan asuransinya bisa ikut mengedukasi ke masyarakat. Jadi kita semua, para pelaku usahanya, regulatornya, masyarakatnya sendiri, memang harus saling mendukung dan berjalan bersama untuk kemajuan industri asuransi ke depan," tegas Kristianti.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News