Ilustrasi. Foto: Medcom.id
Ilustrasi. Foto: Medcom.id

Ketangguhan Fundamental RI Belum Diapresiasi Investor

Husen Miftahudin • 16 Maret 2021 12:38
Jakarta: Investor global di pasar negara berkembang menjadi cemas lantaran imbal hasil surat utang Amerika Serikat (AS) meningkat saat kekhawatiran akan kenaikan inflasi. Kondisi ini menyebabkan pasar di negara maju maupun pasar negara berkembang menyesuaikan tingkat imbal hasilnya masing-masing.
 
Dengan hal ini, sejumlah ekonom berpandangan bahwa yang paling terdampak dari kondisi ini adalah obligasi negara-negara berkembang dengan imbal hasil tinggi. Hal ini dapat menyebabkan gejolak pasar, sama seperti pada 2013.
 
Kondisi ini semakin parah bagi Indonesia, sebab para ekonom menilai bahwa investor belum sepenuhnya mengapresiasi ketangguhan fundamental Indonesia. Terkait hal tersebut, sejumlah ekonom Bank DBS menekankan lima hal terpenting.

Pertama, kepemilikan asing di pasar modal Indonesia telah menurun. Untuk obligasi pemerintah (government bonds), investor asing cenderung waspada dan mengurangi porsinya sejak pandemi terjadi di awal 2020. Kepemilikan asing saat ini sama dengan pada awal 2020, sekitar Rp970 triliun.
 
"Namun angka ini menutupi fakta bahwa secara persentase, kepemilikan asing telah menurun menjadi 24 persen dari 39 persen pada awal 2020. Secara relatif proporsi kepemilikan asing atas obligasi pemerintah lebih tinggi pada akhir 2012 (33 persen), sesaat sebelum gejolak pasar terjadi ketika The Fed mengurangi program pembelian obligasi," papar ekonom Bank DBS Radhika Rao dalam siaran persnya, Selasa, 16 Maret 2021.
 
Radhika menyebut hal serupa terjadi pada pasar saham di mana tingkat kepemilikan asing hanya sedikit di bawah tingkat sebelum pandemi secara nilai. Namun, proporsi kepemilikan asing telah menurun. Dengan kepemilikan atas aset dalam rupiah terlihat yang menurun dari sisi historis dan kerentanan terhadap aliran dana keluar diperkirakan telah menurun.
 
"Hal ini bisa juga berlaku untuk Posisi Investasi Asing Bersih Indonesia (Indonesia Net International Investment Position/NIIP). Pada akhir 2012, NIIP Indonesia negatif sebesar USD362 miliar dengan aset cadangan resmi senilai USD113 miliar. Pada September 2020, NIIP Indonesia meningkat menjadi negatif USD265 miliar dengan cadangan senilai USD135 miliar (data terakhir menunjukkan USD139 miliar pada Februari)," urai dia.
 
Kedua, peningkatan harga komoditas membantu neraca perdagangan Indonesia. Rates Strategist Bank DBS Eugene Leow menyatakan ada korelasi tinggi antara indeks CRB dan ekspor Indonesia. Secara lebih khusus, peningkatan harga batu bara dan minyak kelapa sawit menguntungkan, sementara peningkatan harga minyak tidak.
 
"Neraca perdagangan sudah positif, walaupun demikian ini juga disebabkan oleh melemahnya permintaan impor di tengah kelesuan ekonomi domestik akibat covid-19. Dengan mempertimbangkan hal-hal tersebut, perkembangan ini seharusnya menurunkan kecemasan terkait pendanaan dalam dolar AS dan mendukung rupiah," tuturnya.
 
Ketiga, defisit anggaran yang terkendali. Pada 2020, upaya untuk mempercepat pengeluaran fiskal menyebabkan peningkatan pengeluaran sebesar 12,2 persen secara tahunan sementara pendapatan turun hingga 16,7 persen secara tahunan.
 
"Kendati demikian, defisit anggaran tahunan tetap melebar menjadi minus 6,09 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), sedikit di bawah target yang sebesar minus 6,3 persen. Sekitar 83 persen dana pemulihan ekonomi telah dicairkan dari total anggaran Rp695,2 triliun," jelas Eugene.
 
Keempat, valuasi masih menarik. Rates Strategist Bank DBS Duncan Tan menyebutkan bahwa Indikator Valuasi Tingkat Pengembalian Asia (Asia Rates Valuation Indicator, ARVI) menunjukkan bahwa obligasi rupiah (kode: INDOGB) adalah salah satu dari dua obligasi pemerintah yang dinilai masih cukup murah jika dibandingkan dengan surat berharga pemerintah AS.
 
"Secara umum, imbal hasil pasar berkembang paling terdampak oleh gejolak pasar kali ini. Pandemi menyebabkan investor asing enggan kembali berinvestasi di aset pasar berkembang. Fenomena ini terjadi kemungkinan akibat pandangan bahwa pasar negara berkembang baru akan bisa mencapai target vaksinasi secara nasional pada 2022 dibandingkan dengan pasar negara maju yang diperkirakan akan dapat memvaksinasi sebagian warganya pada kuartal II-2021," ungkapnya.
 
Kelima, imbal hasil IndoGB yang relatif tinggi menawarkan prospek imbal hasil absolut positif untuk pendapatan tetap pada tahun penuh tantangan ini. Duncan memperkirakan imbal hasil global akan meningkat hingga akhir tahun. Secara lebih khusus, ia memperkirakan peningkatan imbal hasil surat utang pemerintah AS bertenor 10 tahun hingga 10-15 bps mendekati angka 1,75 persen.
 
"Mengingat besarnya ekspektasi untuk peningkatan imbal hasil pada 2021, obligasi Asia terutama yang menawarkan imbal hasil rendah akan menghadapi tantangan sangat besar dalam memberikan imbal hasil absolut positif. IndoGB merupakan salah satu dari sedikit pengecualian. Dengan asumsi gejolak obligasi AS berada di tingkat sedang, imbal hasil IndoGB yang lebih tinggi serta kurva yang tajam, lebih dari cukup untuk menutupi kerugian akibat peningkatan imbal hasil," pungkas Duncan.
 

 
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(DEV)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan