Ilustrasi. Foto: Medcom.id
Ilustrasi. Foto: Medcom.id

Pembiayaan Pengembangan Ekonomi Hijau Butuh Rp745 Triliun/Tahun

Husen Miftahudin • 28 Desember 2021 12:27
Jakarta: Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso mengatakan kebutuhan pembiayaan pengembangan ekonomi hijau di Indonesia mencapai USD479 miliar atau setara Rp745 triliun per tahun hingga 2030. Ini menjadi komitmen pemerintah dalam memitigasi perubahan iklim sesuai dengan Paris Agreement on Climate Change 2015-2030.
 
Dalam komitmennya tersebut, Indonesia menyatakan akan menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dari level business as usual pada 2030 sebesar 29 persen melalui upaya nasional dan 41 persen dengan dukungan internasional. Indonesia juga berkomitmen mendukung Roadmap Net Zero Emission 2021-2060 yang berfokus pada pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT) yang masif dan pelepasan (retirement) Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) secara berkala.
 
"Komitmen ini bukan tanpa biaya melainkan luar biasa. Nah, dari mana kita biayai ini, karena itu kita harus kolaborasi dengan internasional dan private sector untuk itu. Di antaranya bagaimana kita harus mengubah dari energi fuel menjadi energi baru dan terbarukan, mengurangi efek rumah kaca dengan sedikit menggunakan lampu dan tidak menebang hutan," ujar Wimboh dalam webinar, Selasa, 28 November 2021.

Wimboh mengakui, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tidak cukup untuk mendanai seluruh pembiayaan pengembangan ekonomi hijau di Indonesia. Karena itu, pemerintah pusat terus menggandeng seluruh pihak untuk bersama-sama melakukan pengembangan ekonomi hijau.
 
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) misalnya, yang sudah membuat kebijakan dengan memberikan insentif pajak lebih murah untuk kegiatan-kegiatan berwawasan ekonomi hijau. Salah satunya relaksasi Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) bagi kendaraan listrik.
 
OJK pun demikian, dengan membuat Peta Jalan Keuangan Berkelanjutan yang dirancang pada 2015 dan diperpanjang pada 2021. Peta jalan ini mendorong sektor keuangan untuk fokus dan mempunyai program di mana implementasi bisnisnya harus mematuhi ketentuan taksonomi hijau.
 
Selain itu, pada 2017 OJK juga sudah mengeluarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) khusus yang mengatur tentang kewajiban bagi lembaga jasa keuangan dan emiten perusahaan publik untuk menyampaikan laporan terkait pelaksanaan keberlanjutan perusahaan kepada masyarakat.
 
"Dan Indonesia memperoleh peringkat satu tentang kepercayaan terhadap perusahaan yang menyampaikan kinerja berkelanjutan dari GlobeScan dan Global Reporting Initiative (GRI) 2020 kemarin. Indonesia mendapatkan tingkat persepsi kepercayaan yang tertinggi, yakni 81 persen," sebut Wimboh.
 
Soal pembiayaan pengembangan ekonomi hijau, Indonesia juga telah melakukan penerbitan atas obligasi hijau berkelanjutan global (global sustainability green bond). Indonesia bahkan menjadi penerbit obligasi hijau kumulatif terbesar di kawasan ASEAN, dalam hal ukuran penerbitan obligasi hijau.
 
"Secara kumulatif, nilai penerbitan obligasi hijau di Indonesia mencapai USD5 miliar. Ini menjadi yang terbesar di ASEAN dibandingkan Filipina menjadi yang kedua dengan nilai USD2,9 miliar dan Singapura USD2,3 miliar," pungkas Wimboh.
 
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(DEV)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan