"Sekitar 5-10 persen BPR tersebut sudah ada ATM atau mungkin sudah mencapai level menggunakan transaksi elektronik. Jadi ini ini adalah satu fakta yang harus menjadi perhatian," kata Sukarela dalam webinar dengan tema Transformasi BPR: Inovasi dan Kolaborasi, Selasa, 8 September 2020.
Saat ini jumlah BPR yang ada di Indonesia sekitar 1.700 perusahaan. Jumlah kantor cabang BPR pun relatif stagnan dibandingkan dengan bank umum konvensional yang justru banyak mengurangi kantor cabang demi meningkatkan digitalisasi layanan perbankan mereka.
"Kalau bank umum jumlah kantor cabang bank menurun, kalau BPR cenderung masih tetap. Karena memang BPR ini belum optimal dan efektif dalam melakukan transaksi secara digital, ini menjadi tantangan," paparnya.
Sementara itu, perkembangan kinerja BPR juga cenderung stagnan dari tahun ke tahun. Hal ini menjadi pertimbangan OJK untuk mendorong BPR agar merubah pola strategi, model bisnis, hingga proses bisnis mereka agar mampu mencetak kinerja gemilang di tengah era digitalisasi saat ini.
"Sebaran BPR itu umumnya terkonsentrasi di Jawa dan Bali, artinya BPR ini kantornya sangat terkonsentrasi. Dengan era digitalisasi, ini akan menjadi tidak efektif, selain dari sisi biayanya besar, di sisi lain banyak juga nasabah yang sudah lebih educated dengan kebutuhan yang luas. Sehingga apabila kebutuhan nasabah tidak terpenuhi, maka nasabah ini akan berpindah ke BPR atau ke bank umum konvensional lain," ucap Sukarela.
Berdasarkan analisa Sukarela, terdapat beberapa faktor yang membuat BPR sulit berkembang. Pertama, terbatasnya permodalan dan skala usaha. Kedua infrastruktur yang terbatas sehingga pertumbuhan kinerjanya juga terhambat.
"Lalu kemudian keterbatasan produk dan jasa yang ditawarkan dan masih bersifat tradisional. Sekarang sudah banyak produk-produk yang lebih cepat, nyaman, dan terintegrasi," tutup Sukarela.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News