Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso mengatakan sebelum terjadi Pembatasan Sosial Skala Besar (PSBB), pihaknya sudah melakukan langkah preemptive dengan dengan menangani pasar modal melalui sejumlah kebijakan seperti menerapkan pembekuan sementara perdagangan (trading halt) selama 30 menit bila ada penurunan pasar saham sebanyak lima persen hingga pembelian kembali (buyback) saham oleh emiten tanpa melakukan rapat umum pemegang saham (RUPS) terlebih dahulu.
"Dengan berbagai kebijakan yang dikeluarkan mulai dari trading halt, pembelian saham tanpa RUPS bagi emiten yang listed, dan bermacam-macam itu dilakukan supaya volatilitasnya tidak terlalu dalam, dan sekarang sudah mulai kembali (normal)," ujar Wimboh dalam telekonferensi Perkembangan Kebijakan OJK dan Industri Jasa Keuangan di Jakarta, Kamis, 27 Agustus 2020.
Selain itu, OJK juga mengeluarkan kebijakan restrukturisasi kredit untuk mengurangi tekanan perlambatan aktivitas ekonomi yang dialami oleh para pelaku usaha. Kondisi ini berbeda jauh dengan kondisi krisis moneter pada 1997-1998.
"Pada kondisi 1997-1998 kita telat, menunggu dulu nasabahnya bangkrut. Bahkan dulu ada kebijakan yg kami juga sangat surprise (kaget) karena suku bunga ditarik menjadi tinggi, yang tadi nasabah ini sakitnya hanya flu tapi malah menjadi betul-betul kolaps, dan akhirnya menjadi massive defaults," jelasnya.
Namun pada saat pandemi, nasabah yang tak mampu membayarkan utang pinjamannya tidak langsung dikategorikan sebagai default atau gagal bayar. Melalui kebijakan restrukturisasi kredit lewat Peraturan OJK (POJK) 11/2020, OJK bersama-sama dengan pemerintah dan otoritas terkait lainnya memberikan sejumlah stimulus dan insentif agar bisa kembali bangkit dan dapat memulihkan ekonomi.
Upaya tersebut membuahkan hasil, utamanya terhadap kinerja sektor keuangan yang tetap terjaga. Bahkan, saat ini rasio kredit bermasalah atau non-performing loan (NPL) masih dalam batas wajar sebesar 3,22 persen pada Juli 2020 atau di bawah batas threshold sebesar lima persen.
"Sekarang ini oke, semua tertata, NPL oke. Ini tidak dilakukan pada saat krisis 1997/1998 yang pada waktu itu justru bank-nya menjadi kolaps karena kita restrukturisasi setelah mengkategorikan kreditnya default, ini berat," tukas Wimboh.
Kondisi likuiditas perbankan juga masih terjaga dengan baik. Bahkan suku bunga simpanan dan kredit terus mengalami penurunan imbas berbagai relaksasi yang dikeluarkan Bank Indonesia (BI). Hal ini berbeda dengan langkah dan kebijakan yang dilakukan pada saat krisis moneter pada 1997/1998.
"Jadi kalau tadi sampai ada yang menyebarkan hoaks karena pikirannya diilhami seperti kondisi 1997-1998, itu totally salah. Barusan tadi saya video conference dengan IMF (Dana Moneter Internasional) di Washington DC. Saya jelaskan betul arsitek kita tentang penanganan krisis covid ini-19. Mereka sangat apresiasi dan surprise, ternyata kita sudah melakukan dengan baik dan hasilnya adalah financial sector sekarang ini stabil, likuiditasnya juga terjaga," tutup Wimboh.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News